Setiap hari, miliaran orang di seluruh dunia berinteraksi dengan platform digital. Mereka mengetikkan kata kunci pencarian, dan dalam hitungan detik, ribuan hasil ditampilkan. Di balik layar, sebuah sistem yang tak terlihat, namun sangat kuat, bekerja tanpa henti: algoritma. Algoritma inilah yang memutuskan apa yang akan kita lihat, dan apa yang akan tersembunyi. Khususnya di ranah e-commerce, dominasi algoritma ini telah menciptakan sebuah ekosistem pasar yang sangat kompleks, yang jauh dari kesan netral dan adil.
Bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), marketplace seperti Shopee, Tokopedia, dan Lazada sering dianggap sebagai penyelamat digital. Mereka menyediakan lapak virtual yang memungkinkan produk UMKM menjangkau jutaan konsumen tanpa harus memiliki toko fisik. Namun, di balik janji-janji kemudahan tersebut, tersembunyi sebuah realitas yang menantang: pencarian yang tidak netral dan munculnya pseudo-monopoli atau monopoli semu. Fenomena ini membuat UMKM harus berjuang bukan hanya untuk bersaing dengan sesama penjual, tetapi juga dengan algoritma itu sendiri—sebuah entitas yang berperan sebagai “wasit dan pemain” dalam satu waktu.
Artikel ini akan mengupas tuntas fenomena ini secara mendalam. Kita akan memulai dengan mengungkap misteri di balik perbedaan hasil pencarian di perangkat yang berbeda, menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan ketidaknetralan ini, dan kemudian menyelami konsep pseudo-monopoli yang menjadi ancaman serius bagi UMKM. Lebih dari sekadar teori, kami akan membedah dampak negatifnya, menyajikan bukti nyata, dan yang terpenting, memberikan panduan strategi yang praktis agar UMKM dapat bertahan, berinovasi, dan bahkan berkembang di tengah persaingan digital yang semakin ketat.
Mari kita mulai dengan sebuah skenario sederhana yang mungkin pernah Anda alami. Anda dan teman Anda sedang duduk di kafe, dan Anda berdua ingin membeli sebuah produk, misalnya “gitar takamine”. Anda berdua menggunakan kata kunci yang sama persis di aplikasi Shopee, tetapi setelah menekan tombol cari, Anda menemukan bahwa daftar produk yang muncul di ponsel Anda dan ponsel teman Anda tidak sama. Urutan produknya berbeda, beberapa produk yang ada di daftar Anda tidak ada di daftar teman Anda, dan sebaliknya.
Fenomena ini bukanlah sebuah anomali atau bug pada sistem. Justru, inilah yang disebut sebagai personalisasi pencarian, sebuah fitur sentral dari strategi bisnis platform digital. Algoritma tidak memberikan hasil pencarian yang sama untuk semua orang, karena asumsi mereka adalah setiap orang adalah individu unik dengan preferensi dan perilaku belanja yang berbeda. Tujuannya adalah untuk meningkatkan probabilitas terjadinya transaksi. Marketplace percaya bahwa dengan menyajikan produk yang paling mungkin Anda beli—bukan produk yang paling populer—mereka dapat memaksimalkan keuntungan mereka.
Perbedaan ini adalah hasil dari sebuah sistem canggih yang menganalisis profil pengguna secara mendalam. Profil ini adalah representasi digital dari Anda, yang dibentuk oleh berbagai data yang dikumpulkan platform. Ketika Anda mengetikkan sebuah kata kunci, algoritma mencocokkan kata kunci tersebut dengan profil Anda dan dengan data penjual, kemudian meracik daftar produk yang paling sesuai.
Sebagai contoh, jika Anda adalah seorang “pengguna setia produk branded“, algoritma mungkin akan memprioritaskan toko-toko “Official Store” atau “Shopee Mall” yang Anda lihat. Sebaliknya, jika teman Anda adalah “pengguna yang sering mencari diskon dan harga termurah”, algoritma akan menampilkan produk-produk dari penjual yang sedang mengadakan promo atau memiliki harga di bawah rata-rata pasar. Ini bukan tentang keadilan, melainkan tentang efisiensi konversi dari sudut pandang platform.
Algoritma pencarian di marketplace menggunakan puluhan, bahkan ratusan, sinyal sebagai input untuk menentukan peringkat produk. Namun, ada beberapa faktor utama yang memiliki pengaruh paling signifikan:
Ketidaknetralan dalam hasil pencarian bukan sekadar kebetulan, melainkan hasil dari arsitektur algoritma yang secara inheren dirancang untuk memprioritaskan faktor-faktor tertentu yang menguntungkan platform. Mari kita telusuri bagaimana setiap faktor tersebut memiliki dampak yang signifikan.
Algoritma personalisasi bekerja berdasarkan prinsip analisis prediktif. Semakin banyak data yang ia miliki tentang Anda, semakin akurat prediksinya. Proses ini dimulai dari momen pertama Anda membuka aplikasi. Algoritma mengamati setiap gerakan Anda: kata kunci apa yang Anda ketik, produk mana yang Anda klik, seberapa lama Anda melihat produk tersebut, apa yang Anda masukkan ke keranjang, dan ulasan apa yang Anda berikan. Data ini dikumpulkan dan disintesis untuk membangun profil psikografi Anda sebagai konsumen.
Misalnya, jika Anda seorang mahasiswa yang sering membeli buku bekas dan alat tulis, algoritma akan mengidentifikasi Anda sebagai “pembeli yang sensitif harga dan berorientasi edukasi”. Di masa depan, saat Anda mencari produk lain, algoritma akan memprioritaskan penjual yang menawarkan diskon atau produk yang relevan dengan profil tersebut. Akibatnya, Anda akan terperangkap dalam sebuah gelembung filter di mana Anda hanya melihat apa yang algoritma pikir Anda inginkan, yang secara efektif menyaring ribuan pilihan lain yang mungkin lebih baik atau lebih inovatif.
Faktor geografis memiliki pengaruh besar dalam e-commerce, terutama pada produk yang membutuhkan pengiriman fisik. Marketplace berkolaborasi dengan perusahaan logistik untuk menawarkan layanan pengiriman yang efisien. Algoritma menggunakan lokasi GPS dan alamat IP Anda untuk memprioritaskan penjual yang berada di wilayah terdekat. Ini memang menguntungkan konsumen dari sisi kecepatan dan biaya pengiriman, tetapi bagi UMKM yang berlokasi di daerah pelosok atau di luar kota-kota besar, ini menjadi sebuah hambatan besar.
Seorang pengrajin batik dari daerah terpencil, misalnya, harus bersaing dengan penjual batik di Jakarta yang memiliki akses lebih mudah ke konsumen di ibu kota. Meskipun kualitas batik pengrajin tersebut jauh lebih baik, produknya akan sulit ditemukan oleh konsumen di Jakarta karena algoritma secara default memprioritaskan penjual yang lokasinya lebih dekat. Ini menciptakan ketidakadilan geografis yang sulit diatasi oleh UMKM kecil.
Algoritma marketplace tidak hanya “pintar,” tetapi juga “bersahabat” dengan mereka yang mau berinvestasi di platform. Ada berbagai program yang dapat meningkatkan peringkat penjual secara signifikan:
Semua faktor ini menciptakan sebuah sistem di mana visibilitas dapat dibeli, yang secara inheren tidak netral. Penjual kecil yang tidak memiliki modal besar untuk beriklan atau berpartisipasi dalam program-program ini akan secara otomatis terpinggirkan.
Bayangkan platform marketplace sebagai sebuah laboratorium raksasa yang terus-menerus melakukan eksperimen. Setiap hari, mereka menguji fitur-fitur baru, tata letak yang berbeda, atau logika algoritma yang dimodifikasi. Proses ini disebut A/B testing. Misalnya, tim data science di Shopee ingin tahu apakah menampilkan ulasan produk di halaman pencarian akan meningkatkan penjualan. Mereka akan membagi pengguna menjadi dua kelompok:
Jika Grup B menunjukkan tingkat konversi yang lebih tinggi, perubahan ini akan diluncurkan ke seluruh pengguna. Perbedaan kecil ini, yang sering tidak disadari oleh pengguna, dapat mengubah bagaimana produk-produk ditampilkan dan, pada akhirnya, memengaruhi nasib penjual. Bagi UMKM, ini berarti aturan main dapat berubah sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan, memaksa mereka untuk terus beradaptasi.
Teknologi device fingerprinting adalah bukti nyata betapa jauhnya platform dalam melacak dan mempersonalisasi pengalaman pengguna. Berbeda dengan cookies yang bisa dihapus, device fingerprint adalah sidik jari digital yang dibuat dari kombinasi data teknis perangkat Anda: jenis browser, versi sistem operasi, resolusi layar, zona waktu, daftar font yang terinstal, dan banyak lagi. Dengan menggabungkan data ini, algoritma dapat membuat profil yang sangat akurat tentang Anda, bahkan jika Anda tidak login. Ini memungkinkan platform untuk melacak Anda di berbagai situs dan aplikasi, membangun profil yang konsisten, dan kemudian mempersonalisasi hasil pencarian Anda di mana pun Anda berada. Bagi UMKM, ini berarti mereka tidak hanya bersaing dengan toko lain, tetapi juga dengan profil digital yang telah dibangun oleh algoritma untuk setiap konsumen.
Pertanyaan ini membawa kita ke inti permasalahan: apakah dominasi algoritma ini bisa disebut monopoli? Jika ya, apa perbedaannya dengan monopoli yang kita kenal selama ini?
Secara tradisional, monopoli legal mengacu pada situasi di mana satu perusahaan menguasai seluruh pasar. Pesaing tidak dapat masuk, dan perusahaan tersebut dapat menetapkan harga sesuka hati. Regulasi anti-monopoli, seperti yang diatur oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Indonesia, dirancang untuk mencegah dominasi semacam ini.
Namun, di era digital, muncul bentuk monopoli yang lebih halus: monopoli algoritmik. Ini bukan tentang satu-satunya pemain di pasar, melainkan tentang satu pemain yang mengontrol infrastruktur digital yang sangat penting—yaitu algoritma, data, dan platform itu sendiri. Meskipun secara teknis ada ribuan penjual di marketplace, platform memiliki kendali penuh atas bagaimana visibilitas didistribusikan. Inilah yang membedakannya dari monopoli konvensional, di mana kontrol berpusat pada harga dan output, sementara di sini, kontrol berpusat pada informasi dan akses.
Di dalam ekosistem marketplace, platform tidak hanya menyediakan lapak untuk berjualan. Mereka juga aktif berpartisipasi sebagai pemain. Ini adalah konflik kepentingan yang sangat besar. Bayangkan sebuah pertandingan sepak bola di mana wasit juga merupakan pemilik salah satu tim yang sedang bertanding. Jelas, wasit tersebut memiliki insentif untuk membuat keputusan yang menguntungkan timnya sendiri.
Hal serupa terjadi di marketplace. Platform memiliki program-program eksklusif seperti “Official Store” atau “Brand Partner” yang memberikan keistimewaan khusus bagi brand besar. Mereka juga seringkali mempromosikan produk-produk yang terikat kerja sama eksklusif dengan platform, bahkan terkadang memiliki private label mereka sendiri. Dengan mengendalikan algoritma, mereka dapat memastikan produk-produk ini mendapatkan visibilitas tertinggi, mengorbankan visibilitas dari UMKM lain yang mungkin memiliki produk yang lebih baik.
Peluang bagi seller kecil masih ada, tetapi jauh lebih sulit. Mereka harus berhadapan dengan persaingan yang tidak adil dari tiga front:
Tanpa pemahaman yang mendalam tentang cara kerja algoritma dan strategi yang tepat, penjual kecil akan terus terjebak dalam sebuah lingkaran di mana visibilitas hanya bisa dibeli, bukan didapat dari kualitas produk semata.
Untuk lebih memahami situasi ini, penting untuk mendalami konsep pseudo-monopoli atau monopoli semu.
Pseudo-monopoli adalah kondisi di mana suatu entitas memiliki kendali pasar yang sangat kuat, bukan karena mereka satu-satunya pemain, tetapi karena mereka menguasai infrastruktur kunci yang digunakan oleh semua pemain lain untuk berinteraksi dengan konsumen. Infrastruktur kunci ini adalah algoritma dan platform itu sendiri. Mereka tidak memiliki monopoli secara hukum, tetapi secara de facto, mereka memiliki kekuatan yang setara dengan monopoli karena menjadi satu-satunya “gerbang” digital yang signifikan. Mereka adalah gatekeeper yang menentukan siapa yang bisa masuk dan siapa yang akan dibatasi.
Bayangkan sebuah kota besar yang hanya memiliki satu gerbang masuk. Perusahaan yang menguasai gerbang tersebut tidak memiliki monopoli atas kota itu sendiri, tetapi mereka memiliki kendali penuh atas siapa yang boleh masuk. Mereka bisa menaikkan tarif, memperlambat proses, atau bahkan memblokir pihak tertentu. Inilah analogi yang paling tepat untuk menggambarkan pseudo-monopoli di dunia digital.
Pseudo-monopoli jauh lebih sulit diatur dan lebih berbahaya karena beberapa alasan:
Praktik pseudo-monopoli di marketplace tidak hanya merugikan penjual kecil, tetapi juga merusak ekosistem pasar secara keseluruhan dan menghambat inovasi.
Ini adalah dampak paling langsung dan menyakitkan. Seorang pengrajin sepatu kulit lokal yang membuat produk dengan kualitas terbaik dan desain orisinal memutuskan untuk menjual produknya di marketplace. Ia sudah menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk riset, pengembangan, dan pembuatan produk. Namun, karena ia tidak memiliki riwayat penjualan, ulasan, atau anggaran iklan yang besar, produknya tidak pernah muncul di halaman pertama. Konsumen yang mencari “sepatu kulit” hanya melihat produk-produk massal dari toko-toko besar yang membanjiri halaman pertama dengan iklan. Hasilnya, produk berkualitas dari pengrajin lokal tersebut tetap tidak terlihat, seolah-olah ia tidak pernah ada di platform tersebut. Ini adalah tragedi ekonomi di mana kualitas dikalahkan oleh visibilitas yang dibeli.
Untuk mendapatkan visibilitas, penjual kecil terpaksa ikut dalam “perlombaan iklan”. Mereka harus mengalokasikan sebagian besar keuntungan mereka untuk beriklan, hanya agar produk mereka bisa muncul di halaman depan. Biaya iklan ini terus meningkat seiring dengan bertambahnya persaingan, menciptakan semacam inflasi digital. Pada akhirnya, biaya ini membebani margin keuntungan penjual, membuat mereka sulit untuk berinovasi atau menurunkan harga. Mereka tidak lagi menjual produk, melainkan membayar biaya sewa digital yang terus naik.
Paradoksnya, personalisasi yang seharusnya memberikan pengalaman terbaik justru membatasi pilihan konsumen. Algoritma akan menempatkan konsumen dalam gelembung filter di mana mereka hanya disajikan produk-produk yang sesuai dengan profil mereka. Konsumen mungkin tidak pernah tahu bahwa ada produk yang lebih baik, lebih murah, atau lebih inovatif dari penjual kecil yang tersembunyi di balik lapisan-lapisan algoritma. Ini menghambat konsumen untuk menemukan produk yang benar-benar mereka butuhkan atau inginkan.
Pseudo-monopoli menciptakan sebuah lingkaran umpan balik positif (positive-feedback-loop) yang merugikan. Penjual besar memiliki modal untuk beriklan. Iklan menghasilkan penjualan. Penjualan meningkatkan peringkat algoritma. Peringkat yang lebih baik menghasilkan lebih banyak penjualan organik. Lingkaran ini terus berulang, membuat yang besar semakin besar. Sementara itu, penjual kecil tidak memiliki modal awal untuk memulai siklus ini, sehingga mereka terperangkap di bawah dan semakin sulit untuk bangkit. Ini adalah contoh sempurna dari Matthew Effect, di mana “yang punya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan; tetapi siapa tidak punya, apa pun yang ada padanya akan diambil” (Matius 25:29), yang diadaptasi ke dalam ekonomi digital.
Persaingan yang sehat seharusnya didasarkan pada inovasi, kualitas produk, dan harga yang kompetitif. Namun, di marketplace yang didominasi algoritma, persaingan sering kali berubah menjadi “perlombaan siapa yang bisa membayar lebih”. Ini merusak idealisme pasar bebas dan menciptakan arena yang sangat tidak adil bagi para pelaku bisnis kecil.
Ketika sebagian besar keuntungan harus dialokasikan untuk biaya iklan yang terus meningkat, UMKM tidak memiliki modal atau waktu untuk berinvestasi dalam penelitian dan pengembangan produk baru, meningkatkan kualitas material, atau merekrut tenaga ahli. Mereka hanya fokus pada bertahan hidup di tengah persaingan iklan yang brutal, yang pada akhirnya menghambat inovasi di sektor UMKM.
Meskipun saya tidak bisa menampilkan gambar seutuhnya, saya akan memberikan deskripsi detail yang memberikan gambaran nyata tentang perbedaan hasil pencarian untuk kata kunci “jam tangan fossil” dari dua perangkat dengan profil pengguna yang sangat berbeda.
Perbedaan ini membuktikan bahwa algoritma secara aktif membangun profil pengguna dan menyesuaikan hasil pencarian. Hasil di device A mencerminkan kecenderungan pengguna untuk membeli produk yang lebih mahal dan dari toko yang sudah terpercaya. Sementara itu, hasil di device B mencerminkan keinginan algoritma untuk memancing pengguna yang jarang belanja dengan menawarkan variasi dan harga yang lebih beragam. Algoritma telah memutuskan produk mana yang “relevan” untuk masing-masing pengguna, sehingga secara efektif menyembunyikan produk yang tidak dianggap relevan.
Mengandalkan marketplace 100% adalah strategi yang sangat berisiko di era pseudo-monopoli ini. Namun, keluar sepenuhnya dari marketplace juga bukan jawaban untuk semua UMKM. Pendekatan terbaik adalah diversifikasi dan mulai membangun “aset digital” Anda sendiri.
Memiliki website sendiri adalah investasi besar, tetapi sangat strategis. Waktu yang tepat untuk mempertimbangkan langkah ini adalah ketika:
Jika Anda memutuskan untuk beralih ke website sendiri, tantangan terbesar adalah membangun traffic. Berikut adalah beberapa strategi yang bisa Anda terapkan:
Membangun keberadaan di marketplace memang penting untuk menjangkau pasar yang luas, tetapi jangan sampai terjebak hanya sebagai “toko” di antara ribuan toko lainnya. Strategi yang jauh lebih krusial dan berkelanjutan adalah membangun brand yang kuat dan otentik. Sebuah brand bukan sekadar logo atau nama, melainkan sebuah narasi, identitas, dan janji kepada konsumen. Gunakanlah platform media sosial seperti Instagram, TikTok, atau YouTube untuk menceritakan kisah di balik produk Anda. Alih-alih hanya mengunggah foto produk, tunjukkanlah proses pembuatannya: tangan-tangan terampil pengrajin yang memilih bahan baku, detail rumit saat merakit produk, atau dedikasi tim Anda dalam memastikan setiap produk memiliki kualitas terbaik. Perkenalan tim di balik layar akan membuat brand Anda terasa lebih manusiawi dan dapat dipercaya, yang pada akhirnya akan menciptakan koneksi emosional yang jauh lebih kuat dengan audiens.
Interaksi personal ini, yang sering disebut sebagai brand storytelling, akan mengubah cara pandang pelanggan. Mereka tidak lagi hanya membeli produk, melainkan membeli cerita, nilai, dan dedikasi di baliknya. Loyalitas semacam ini tidak bisa dibeli dengan iklan. Ketika Anda berhasil membangun brand yang dicintai, pelanggan akan secara aktif mencari Anda di mana pun Anda berada, baik di marketplace maupun di luar platform, tidak peduli apa yang dikatakan oleh algoritma. Kekuatan brand inilah yang akan menjadi aset digital paling berharga dan tak tergantikan dalam jangka panjang.
Algoritma bukanlah sebuah entitas yang netral atau teman yang membantu Anda. Ia adalah alat bisnis yang dirancang untuk memaksimalkan keuntungan platform. Dengan memahami fakta ini, UMKM dapat berhenti menjadi korban pasif dan mulai menjadi pemain yang cerdas.
Jika Anda belum siap untuk beralih dari marketplace, setidaknya Anda harus bermain cerdas di dalam sistem. Pelajari cara kerja algoritma, pahami tren, gunakan data penjualan Anda untuk membuat keputusan yang lebih baik, dan jangan menempatkan semua telur Anda dalam satu keranjang dengan hanya bergantung pada iklan.
Di tengah dominasi algoritma, satu-satunya cara untuk bertahan dan berkembang adalah dengan meningkatkan kompetensi digital. Ini bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan. UMKM perlu belajar membaca dan menginterpretasikan data penjualan yang tersedia di dasbor penjual, seperti tren produk, jam-jam sibuk, dan perilaku pembeli. Data ini adalah “kompas” Anda, yang memungkinkan Anda membuat keputusan strategis yang lebih akurat daripada hanya mengandalkan insting.
Selain itu, edukasi publik dan sesama UMKM adalah senjata terbaik. Semakin banyak pelaku UMKM yang memahami realitas pseudo-monopoli algoritmik, semakin besar kekuatan kolektif kita untuk mendorong perubahan dan menciptakan ekosistem bisnis digital yang lebih adil dan sehat. Kolaborasi, berbagi pengetahuan, dan saling mendukung antar UMKM bisa menjadi benteng pertahanan yang efektif melawan dominasi platform.
Pada akhirnya, tujuan kita bukan hanya untuk bertahan, tetapi untuk menciptakan ekosistem bisnis yang sehat dan berkelanjutan bagi semua. Ini berarti UMKM harus mulai melihat di luar marketplace. Mulailah membangun aset digital Anda sendiri—seperti media sosial yang kuat, daftar pelanggan email, atau website pribadi—yang tidak bisa diambil alih atau diubah aturannya oleh platform lain. Saatnya UMKM mengambil alih kendali, bukan hanya menjadi bidak catur yang digerakkan oleh algoritma. Kekuatan sejati terletak pada brand yang kuat, basis pelanggan yang loyal, dan komunitas yang saling mendukung.
Catatan Kaki Ilmiah & Daftar Pustaka