DPR adalah candu rakyat Indonesia

Apa benar pekerjaan utama lembaga DPR itu mengurus rakyat? Jika Anda berpikir demikian, mungkin ada baiknya Anda merenung lagi. Misi utama mereka bukan tentang urusan kesejahteraan atau kebijakan publik, melainkan bagaimana cara membuat rakyat malas berpikir. Ini adalah sebuah strategi yang terencana, sebuah agenda yang diselipkan diam-diam saat kita semua sedang sibuk dengan hal-hal lain. Mereka mengubah kita dari warga negara yang seharusnya kritis menjadi penonton pasif dalam sebuah panggung besar yang disebut politik. Inilah yang disebut konsumerisme politik, di mana isu-isu serius dikemas menjadi tontonan, dan partisipasi publik hanya sebatas memilih, bukan mengawasi.

Kenyataan ini tidak bisa dipisahkan dari peran media massa, terutama televisi. Coba perhatikan, siapa saja pemilik stasiun televisi besar di Indonesia saat ini? Banyak dari mereka adalah elit politik atau oligarki yang berafiliasi kuat dengan kekuasaan. Kepemilikan ini memberi mereka kendali penuh atas informasi yang disajikan kepada publik. Dengan mudah, mereka bisa memainkan isu, mengangkat berita yang menguntungkan, dan menyembunyikan masalah yang merugikan. Hiburan yang disiarkan, dari acara joget hingga drama murahan, sengaja dirancang untuk mengisi penuh ruang kognitif kita, membuat kita terhibur sampai lupa bertanya, “Kenapa harga beras naik?” atau “Kenapa jalanan masih bolong padahal pajak makin gila?”

Hiburan sebagai Senjata Pengalihan Massal

Fenomena ini bukanlah sebuah kebetulan, melainkan sebuah strategi yang sudah matang. Mereka tahu betul, otak manusia punya kapasitas terbatas untuk memproses informasi. Dalam psikologi kognitif, ini disebut beban kognitif (cognitive load). Saat pikiran kita dijejali dengan konten-konten yang seru, viral, dan menghibur seperti kasus-kasus drama selebriti, tingkah laku kocak, atau video-video joget yang tak ada habisnya. Kapasitas kognitif kita terisi penuh, tidak ada lagi ruang yang tersisa untuk berpikir kritis, menganalisis, atau mempertanyakan hal-hal yang lebih substansial. Dengan cara ini, mereka berhasil menguasai “ruang kepala” publik, membuat kita sibuk dengan hal-hal yang tidak penting.

Dalam filsafat, kondisi ini sudah diprediksi oleh seorang filsuf Prancis, Guy Debord, dalam karyanya yang monumental, “La Société du Spectacle” (1967). Debord berpendapat bahwa masyarakat modern hidup dalam sebuah “Masyarakat Tontonan,” di mana semua hubungan sosial tidak lagi dimediasi oleh interaksi langsung, melainkan oleh citra-citra yang diciptakan media. Realitas sejati tersembunyi di balik sebuah pertunjukan besar yang gemerlap. Politik, ekonomi, bahkan penderitaan rakyat, semuanya diubah menjadi drama yang bisa kita tonton dari jauh.

Di Indonesia, teori ini relevan dengan kondisi saat ini. Lihatlah bagaimana sebuah isu politik yang kompleks sering kali direduksi menjadi “drama” yang mirip sinetron, lengkap dengan tokoh protagonis dan antagonis. Kita disuguhi narasi yang sederhana dan emosional, sehingga kita tidak perlu repot-repot memahami akar masalahnya. Pertarungan politik antar fraksi di DPR, misalnya, disiarkan seolah-olah itu adalah pertunjukan adu argumen yang menarik, padahal di balik layar, kesepakatan-kesepakatan yang merugikan rakyat mungkin sedang terjadi. Kita sibuk mencerca atau memuji satu figur, sementara undang-undang yang kontroversial disahkan tanpa pengawasan yang memadai. Ini adalah gambaran nyata dari bagaimana sebuah “tontonan” mengaburkan substansi.

Dominasi kepemilikan media oleh elit politik juga memainkan peran kunci. Surya Paloh, pemilik Metro TV, adalah ketua partai NasDem. Hary Tanoesoedibjo, pemilik MNC Group, adalah ketua umum partai Perindo. Sementara itu, Bakrie Group, yang memiliki TV One dan ANTV, berafiliasi kuat dengan Partai Golkar. Kepemilikan ini tidak hanya memberikan mereka kontrol atas apa yang disiarkan, tetapi juga menjadi instrumen untuk mengarahkan opini publik sesuai kepentingan politik mereka. Dengan demikian, media tidak lagi menjadi pilar demokrasi yang independen, melainkan corong kepentingan para pemiliknya. Mereka bisa dengan mudah mengangkat berita yang menguntungkan partai mereka dan menyembunyikan skandal atau kebijakan yang merugikan. Ini adalah bentuk lain dari manipulasi yang terstruktur, yang membuat rakyat lengah dan sibuk dengan hal-hal yang tidak esensial.

Hiburan yang disiarkan, dari acara joget hingga drama murahan, sengaja dirancang untuk mengisi penuh ruang kognitif kita, membuat kita terhibur, seharusnya kita bertanya, “Kenapa harga beras naik?” atau “Kenapa jalanan masih bolong padahal pajak makin gila?”. Dampaknya, masyarakat menjadi apatis terhadap politik dan isu-isu sosial. Mereka merasa tidak berdaya atau tidak peduli, karena sudah terbiasa hidup di dunia yang penuh ilusi.

Pajak: Beban Rakyat, Keuntungan Tikus di DPR

Sistem pengalihan perhatian ini bukan tanpa tujuan. Saat kita sibuk dengan tontonan dan isu-isu dangkal, agenda mereka berjalan di belakang layar, perlahan-lahan namun pasti. Salah satu manifestasi paling nyata dari agenda ini bisa kita lihat dari cara uang negara dikelola, terutama dari sektor pajak. Pajak adalah darah kehidupan sebuah negara, yang seharusnya kembali dalam bentuk pelayanan publik yang memadai. Namun, dalam kenyataannya, darah ini sering kali lebih banyak mengalir untuk memperkaya para tikus di DPR dan segelintir elite.

Data menunjukkan, per Mei 2025, realisasi penerimaan pajak sudah mencapai Rp683,3 triliun, atau sekitar 31,2% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Sumber data ini bisa Anda temukan dalam laporan resmi Kementerian Keuangan yang dilansir oleh berbagai media, seperti Bisnis.com. Angka yang fantastis, bukan? Pertanyaannya, siapa yang paling banyak berkontribusi? Jawaban yang mungkin mengejutkan adalah rakyat biasa. Setiap kali Anda membeli mi instan, pulsa, atau bahkan sekadar jajan di warung, Anda menyumbang dalam bentuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Setiap transaksi kecil yang kita lakukan sehari-hari, dari membeli token listrik 20 ribu hingga membayar parkir, semuanya berkontribusi pada pundi-pundi negara. Ini adalah bentuk pajak yang regresif, di mana beban pajak justru lebih terasa berat bagi mereka yang berpenghasilan rendah.

Ironisnya, uang yang dikumpulkan dari keringat rakyat itu justru dinikmati oleh para tikus di DPR. Mereka yang seharusnya menjadi representasi kita malah hidup dalam kemewahan yang sulit dibayangkan. Gaji tinggi, tunjangan rumah dinas yang megah, tunjangan komunikasi, tunjangan kendaraan, hingga tunjangan-tunjangan lain yang mungkin tidak pernah kita bayangkan. Semua ini dibiayai oleh uang pajak yang Anda dan saya bayar, sementara di saat yang sama, kita harus berpikir dua kali untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau menunggu diskon untuk membeli sabun cuci piring. Ini adalah ketidakadilan yang telanjang, di mana sistem dibuat untuk mengamankan kemakmuran segelintir orang, bukan untuk kesejahteraan bersama.

Dalam pandangan filsuf Karl Marx, kondisi ini adalah manifestasi dari materialisme historis. Marx berpendapat bahwa struktur ekonomi sebuah masyarakat, menentukan superstruktur politik dan sosialnya. Dalam konteks ini, sistem ekonomi yang ada, yang bergantung pada pajak rakyat, dirancang untuk melayani dan mengamankan kekayaan segelintir orang di puncak (kaum borjuis). Rakyat, atau kaum proletar, secara tidak sadar menjadi penopang utama sebuah sistem yang pada dasarnya mengeksploitasi mereka. Uang yang seharusnya digunakan untuk membangun infrastruktur, meningkatkan layanan kesehatan, atau memajukan pendidikan, justru berputar di lingkaran elite untuk membiayai gaya hidup mewah dan agenda politik mereka.

Sistem yang Bekerja di Balik Layar

Di saat perhatian publik teralihkan oleh hiburan, drama selebriti, dan isu-isu remeh yang sengaja diciptakan, agenda para tikus di DPR berjalan mulus di belakang layar. Kebijakan-kebijakan krusial, yang sejatinya akan mengubah nasib jutaan orang, sering kali disahkan secara senyap dan terburu-buru. Anda mungkin ingat bagaimana pembahasan Omnibus Law atau revisi undang-undang tertentu tiba-tiba disahkan tanpa partisipasi publik yang memadai. Prosesnya serba tertutup, minim sosialisasi, dan seolah-olah dirancang agar rakyat tidak sempat membaca atau mengerti isinya. Ini adalah trik lama, namun selalu berhasil: selipkan aturan yang menguntungkan mereka saat kita sedang sibuk dan tidak melihat.

Strategi pengalihan ini juga didukung oleh manipulasi psikologis. Para elite dan tikus di DPR sering kali menggunakan narasi in-group vs. out-group dari Teori Identitas Sosial. Mereka menciptakan perpecahan di antara rakyat, membiarkan kita berfokus pada pertengkaran yang tidak penting. Contohnya, mereka bisa mengalihkan kemarahan publik atas kenaikan harga barang dengan menyalahkan kelompok tertentu, entah itu pengusaha, kelompok politik lawan, atau bahkan perbedaan suku dan agama. Ini adalah taktik efektif untuk memecah belah persatuan. Saat rakyat sibuk bertengkar satu sama lain, mereka lupa siapa musuh yang sebenarnya, yaitu sistem yang korup dan eksploitatif. Mereka membuat kita fokus pada masalah horizontal, sementara isu vertikal, yaitu ketidakadilan antara rakyat dan penguasa, diabaikan.

Dengan cara ini, para tikus di DPR berhasil menciptakan sistem yang mengamankan posisi dan kekayaan mereka, bukan untuk melayani rakyat. Mereka membentuk undang-undang yang pro-investor besar, menaikkan tunjangan mereka sendiri, dan mengalihkan dana publik ke proyek-proyek yang tidak jelas manfaatnya. Semua ini terjadi di bawah radar, di saat kita asyik dengan “Masyarakat Tontonan” yang mereka sajikan.

Dari Penonton Menjadi Aktor

Sistem ini tidak dibuat untuk semua orang. Sistem ini dibentuk untuk mengamankan hidup para tikus di DPR dan segelintir elite, sementara rakyat hanya menjadi penonton setia yang membayar tiket masuknya dengan uang pajak dan keringat. Kita harus menyadari bahwa apatisme politik bukanlah solusi, melainkan justru bagian dari masalah itu sendiri.

Ajakan untuk Bertindak: Sudah saatnya kita berhenti menjadi penonton pasif. Mulailah dengan mengurangi paparan Anda terhadap konten-konten yang membuang waktu dan mengalihkan fokus. Alihkan energi Anda untuk memahami isu-isu fundamental, membaca undang-undang yang sedang dibahas, dan mempertanyakan kebijakan publik. Jangan biarkan mereka memecah belah kita dengan isu-isu sepele. Bersatulah, dan suarakan pertanyaan mendasar yang penting: “Uang pajak saya lari ke mana?”

Also Read: Menulis Rindu

Perspektif dari Islam: Dalam Islam, urusan kepemimpinan dan kekayaan negara adalah amanah yang sangat besar. Surah At-Taubah ayat 103 menunjukkan bahwa harta yang dikumpulkan dari rakyat, termasuk dalam bentuk pajak, seharusnya digunakan untuk kemaslahatan bersama, bukan untuk kemewahan para tikus di DPR. Sejarah Islam juga dipenuhi dengan contoh pemimpin yang hidup sederhana dan mengelola Baitul Mal (kas negara) dengan penuh amanah, seperti Khalifah Umar bin Khattab. Prinsip-prinsip ini mengajarkan bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan hak untuk memperkaya diri. Oleh karena itu, mengawasi dan mempertanyakan penggunaan uang pajak bukan hanya tanggung jawab warga negara, melainkan juga bagian dari menjalankan prinsip-prinsip keadilan dalam Islam.

Seekor webmaster yang sedang belajar dan punya hobi mengulik seluk-beluk internet, dari desain web hingga SEO. Di luar itu, saya hanyalah penikmat kopi biasa yang senang mendalami cerita di balik setiap cangkir, seperti perjalanan rasa Kopi Gayo yang menakjubkan. Melalui blog ini, saya berbagi apa yang saya pelajari, baik soal digital maupun soal kopi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like
Stereotip Logika Pria vs. Perasaan Wanita. Ini “Mitos” Paling Taek

Stereotip Logika Pria vs. Perasaan Wanita. Ini “Mitos” Paling Taek

Coding Menulis Mantra Dalam Desain Website

Coding Menulis Mantra Dalam Desain Website

Tidak Semua Orang Indonesia Itu Koruptor, Tapi…

Tidak Semua Orang Indonesia Itu Koruptor, Tapi…

Filsafat Rindu, Melintasi Waktu dan Jiwa

Filsafat Rindu, Melintasi Waktu dan Jiwa

Menulis Rindu

Menulis Rindu

Tak Terdengar, Tak Terbaca

Tak Terdengar, Tak Terbaca