“Minat baca sudah turun.” Kalimat ini sering saya dengar, dan tampaknya tidak terbantahkan. Di era digital yang didominasi oleh konten visual, orang-orang memang lebih suka menonton video di YouTube yang menawarkan informasi dan hiburan dalam kemasan yang ringkas. Interaksi digital pun bergeser, dari forum diskusi dan kolom komentar blog ke obrolan cepat di media sosial. Bahkan, saya melihat sendiri banyak orang kini lebih memilih untuk meminta “sedekah” di TikTok daripada berinvestasi waktu untuk membangun sebuah brand atau blog. Semua tanda ini mengarah pada satu kesimpulan yang berat: dunia blogging sudah mati.
Lantas, kalian mungkin bertanya, “Kenapa saya masih blogging?”
Jawaban saya sederhana, bahkan mungkin mengecewakan bagi sebagian orang: ya, hanya untuk mengisi waktu saja, daripada nganggur.
Bagi banyak orang, blog adalah alat untuk mencari uang atau membangun popularitas. Saya ingat betul, di masa keemasan blogging dulu, ada banyak mimpi tentang penghasilan ratusan juta rupiah dari AdSense blogging yang bisa dicairkan lewat Citibank. Itu adalah era di mana setiap blogger berlomba-lomba menulis artikel SEO-friendly dan berharap bisa jadi kaya.
Mimpi itu? Sudah lama saya tinggalkan.
Tantangan yang dihadapi blog saat ini bukan hanya datang dari satu sisi, melainkan dari dua arah yang berbeda dan sama-sama mengancam. Di satu sisi, ada media sosial seperti YouTube dan TikTok yang mengambil perhatian dan waktu dari audiens, membuat minat baca menurun drastis. Di sisi lain, ada model AI seperti Gemini dan ChatGPT yang mengambil tujuan utama dari konten. Mereka bisa memberikan jawaban instan, merangkum informasi, dan mengurangi kebutuhan pengguna untuk mengunjungi sebuah blog sama sekali. Ini adalah dua ancaman besar yang membuat blogging semakin terdesak.
Dulu, “menghasilkan uang dari internet” adalah tentang ketekunan. Menghabiskan berjam-jam riset kata kunci, merangkai ribuan kata, dan menunggu berbulan-bulan untuk AdSense mencairkan penghasilan. Hari ini, “menghasilkan uang dari internet” bisa sesederhana membuka live streaming di TikTok. Terdengar sepele, tapi faktanya, banyak yang memilih cara ini. Mereka tidak perlu membangun otoritas atau menjadi pakar. Cukup dengan menari, bernyanyi, atau sekadar bercerita, ada saja yang memberikan “sedekah” dalam bentuk gift digital. Sebuah interaksi yang jauh lebih cepat dan terasa lebih instan daripada menunggu blog menghasilkan.
Di sinilah letak persoalannya, bung. Ini bukan lagi tentang ilmu atau etika. Ini tentang harga diri dan menjadi manusia. Blogging, dengan segala prosesnya yang lambat, mengajarkan saya untuk menghargai setiap kata yang saya tulis. Menghargai proses. Menghargai diri sendiri. Berbeda dengan apa yang saya lihat di sana. Ketika seseorang rela merendahkan diri demi koin digital, saat itulah esensi kemanusiaan itu terasa hilang. Blogging butuh investasi waktu yang besar untuk hasil yang belum pasti. TikTok menawarkan hasil yang jauh lebih cepat, meskipun sifatnya sementara. Dan saya sadar, banyak orang akan memilih TikTok, bahkan jika harus mengorbankan diri mereka sendiri.
Saya Blogging tidak ada ambisi besar di baliknya. Saya tidak sedang membangun bisnis, apalagi karier sebagai influencer. Saya hanya mencari cara untuk memanfaatkan waktu luang saya dengan kegiatan yang tidak hanya sekadar scroll media sosial.
Blogging bagi saya hanyalah sebuah pelarian, semacam ruang aman untuk mencurahkan isi hati. Dengan menulis, saya sedang melukis emosi buruk yang harus dikeluarkan. Lihat saja beberapa judul postingan di blog ini, sangat tidak teratur dan bahkan tidak sesuai dengan topik utama. Itu karena saya menulis bukan untuk memenuhi standar SEO atau ekspektasi pembaca, melainkan untuk diri sendiri.
Saya menemukan ketenangan dalam prosesnya. Proses mengetik, merangkai kalimat, dan menyusun ide. Proses inilah yang saya nikmati, jauh lebih berharga daripada jumlah pengunjung atau komentar yang masuk.
Jadi, ketika kalian melihat blog ini, anggaplah ini seperti sebuah jurnal yang terbuka. Saya menulis bukan untuk kalian, tapi untuk diri saya sendiri. Saya menulis karena ada sesuatu di kepala saya yang perlu dikeluarkan. Jika ada satu atau dua orang yang menemukan tulisan ini bermanfaat, itu hanya bonus.
Pada akhirnya, di tengah gempuran konten instan dan tren yang cepat berlalu, blog ini adalah pengingat bahwa terkadang, yang paling penting dari sebuah kegiatan adalah makna personalnya, bukan popularitas atau uang yang dihasilkannya. Blog ini mungkin tidak akan membuat saya kaya, terkenal, atau menghasilkan jutaan views. Tapi blog ini membuat saya merasa “hidup,” dan bagi saya, itu sudah lebih dari cukup.