Di era digital ini, narasi yang paling sering kita dengar adalah kisah sukses para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang berhasil menembus pasar nasional, bahkan global, berkat kehadiran platform e-commerce seperti Shopee. Marketplace digadang-gadang sebagai penyelamat, sebuah oase di tengah gurun persaingan bisnis yang kering. Mereka menawarkan gerbang menuju jutaan pembeli potensial tanpa perlu pusing memikirkan biaya sewa toko fisik, operasional, dan infrastruktur yang mahal. Janji ini terdengar begitu indah, seolah-olah era digital adalah lahan subur yang siap panen bagi setiap orang yang berani memulai.
Namun, di balik narasi indah tersebut, tersembunyi sebuah realitas pahit yang jarang terungkap. Bagi banyak UMKM, marketplace bukanlah mitra, melainkan sebuah kerajaan feodal digital yang memungut upeti dari setiap tetes keringat para pengusaha kecil. Mereka menawarkan lahan, tapi dengan imbalan yang harus dibayar mahal dan terus-menerus. Artikel ini akan membongkar secara tuntas sisi gelap marketplace di Indonesia, dari skema biaya yang menipu, jebakan algoritma yang memaksa, hingga risiko ketergantungan yang mengancam keberlanjutan bisnis UMKM.
Poin paling fundamental yang seringkali mengecoh para pelaku UMKM adalah struktur biaya yang kompleks dan tak transparan. Ketika baru bergabung, penjual hanya melihat biaya komisi atau administrasi yang relatif kecil, namun seiring berjalannya waktu, mereka menyadari bahwa ada banyak lapisan biaya yang harus ditanggung. Biaya ini secara kolektif menggerogoti laba hingga ke titik yang tidak sehat, mengubah keuntungan menjadi pengeluaran yang tak terelakkan.
Shopee, sebagai salah satu pemain terbesar di Indonesia, memiliki struktur biaya yang bertingkat. Biaya administrasi ini berbeda-beda tergantung pada tingkat penjual (Non-Star, Star, atau Shopee Mall) dan kategori produk yang dijual. Angkanya berkisar dari 4,25% hingga 8,5% dari harga jual produk. Angka persentase ini terlihat kecil, namun dampaknya luar biasa besar. Terlebih, biaya ini cenderung terus naik seiring dengan pertumbuhan platform.
Mari kita ambil contoh dengan simulasi yang realistis. Bayangkan Anda menjual produk kerajinan tangan seharga Rp150.000. Biaya produksi dan operasionalnya sebesar Rp90.000, sehingga laba kotor Anda seharusnya adalah Rp60.000.
Tanpa potongan marketplace: Laba kotor Anda adalah Rp60.000.
Setelah potongan: Anda adalah penjual Star yang menjual produk di kategori umum dengan biaya admin 6% (Rp9.000). Namun, agar produk Anda laku, Anda juga “terpaksa” mengikuti program Gratis Ongkir XTRA dan Cashback XTRA yang masing-masing memotong 4% dan 2% (total Rp6.000 + Rp3.000). Ditambah lagi, ada biaya proses pesanan yang tetap, sebesar Rp1.500.
Total potongan: Rp9.000 (admin) + Rp6.000 (ongkir XTRA) + Rp3.000 (cashback) + Rp1.500 (proses) = Rp19.500.
Pendapatan bersih Anda dari marketplace menjadi Rp130.500. Laba bersih Anda setelah dikurangi biaya produksi adalah Rp130.500 – Rp90.000 = Rp40.500. Penurunan laba kotor Anda adalah sekitar 32,5%. Angka ini adalah bukti nyata bagaimana marketplace secara sistematis mengikis keuntungan UMKM, mengubah harapan pertumbuhan menjadi perjuangan untuk bertahan.
Di marketplace yang padat, algoritma menjadi penentu utama. Tanpa membayar iklan, produk Anda akan tenggelam. Shopee menawarkan berbagai fitur iklan berbayar, dan bagi UMKM, mengeluarkan biaya iklan seringkali bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan. Ini adalah pajak digital untuk visibilitas. UMKM dipaksa untuk terus mengeluarkan biaya tambahan demi mendapatkan eksposur yang seharusnya menjadi hak mereka sebagai penjual.
UMKM harus memilih antara tidak beriklan dan tidak terlihat, atau beriklan dan menanggung biaya tambahan yang semakin menipiskan margin. Mereka terjebak dalam dilema yang tidak menguntungkan, di mana persaingan tidak lagi didasarkan pada kualitas atau inovasi, melainkan pada siapa yang memiliki modal terbesar untuk membayar iklan.
Ketika UMKM harus mengeluarkan hampir sepertiga laba mereka untuk biaya marketplace, ruang untuk berinovasi menjadi sangat terbatas. Mereka terpaksa memilih antara dua opsi yang sama-sama merugikan:
Menaikkan harga jual, yang membuat produk mereka kurang kompetitif.
Menurunkan kualitas produk, yang akan merusak reputasi merek dan kepercayaan pelanggan dalam jangka panjang.
Dalam banyak kasus, pilihan kedua yang sering diambil demi menjaga harga tetap kompetitif, yang pada akhirnya merugikan konsumen dan menghancurkan ekosistem bisnis yang sehat. Kondisi ini membuat UMKM hanya bisa berfokus pada bertahan hidup, bukan lagi berkembang.
Marketplace adalah arena persaingan yang kejam, dan aturan mainnya ditentukan sepenuhnya oleh platform. Algoritma, yang seharusnya netral, seringkali berpihak pada pihak yang menguntungkan platform itu sendiri.
Algoritma marketplace adalah otak tersembunyi yang menentukan nasib setiap produk. Algoritma ini diprogram untuk memprioritaskan:
Toko yang aktif mengikuti program promo (Gratis Ongkir, Cashback).
Produk yang memiliki harga paling kompetitif.
Penjual yang rutin membayar iklan.
Kondisi ini menciptakan sebuah sistem di mana UMKM tidak memiliki kendali. Mereka harus selalu beradaptasi dengan perubahan algoritma yang tidak transparan, dan jika tidak mengikuti aturan main ini, mereka akan kehilangan visibilitas, berapapun kualitas produk yang mereka tawarkan. Setiap perubahan kecil pada algoritma bisa berdampak besar pada omzet mereka, menciptakan ketidakpastian yang konstan.
Fokus marketplace pada “harga termurah” sebagai daya tarik utama pembeli telah memicu fenomena perang harga yang merugikan semua pihak. UMKM dipaksa untuk banting harga habis-habisan demi memenangkan persaingan, seringkali menjual dengan margin yang sangat tipis, bahkan rugi.
Perang harga ini adalah sebuah spiral kehancuran. Ketika satu penjual menurunkan harga, yang lain akan mengikutinya. Pada akhirnya, yang diuntungkan hanyalah marketplace, yang tetap mendapatkan potongan dari setiap transaksi, berapa pun harga jualnya. Sementara itu, UMKM saling melukai satu sama lain, mengorbankan profitabilitas demi visibilitas semu.
Ketika seluruh fokus UMKM adalah mempertahankan harga terendah, tidak ada lagi ruang untuk berinovasi. Produk-produk baru yang membutuhkan investasi penelitian dan pengembangan (R&D) akan sulit muncul. UMKM akan terjebak dalam siklus menjual produk yang sama dengan harga terendah, tanpa ada dorongan untuk menciptakan nilai tambah.
Salah satu aset terpenting dalam bisnis adalah data pelanggan. Namun, di marketplace, data ini sepenuhnya dikuasai oleh platform.
Marketplace mengumpulkan data berharga tentang perilaku konsumen: produk yang dilihat, riwayat pembelian, preferensi, dan lain-lain. Data ini tidak pernah dibagikan secara transparan kepada UMKM. Akibatnya, UMKM tidak memiliki:
Hubungan Langsung dengan Pelanggan: Mereka tidak memiliki informasi kontak pelanggan. Mereka tidak bisa mengirimkan email promosi, menawarkan diskon khusus untuk pelanggan setia, atau membangun komunitas.
Kemampuan Pemasaran Mandiri: Tanpa data pelanggan, UMKM tidak bisa merancang strategi pemasaran yang mandiri. Mereka sepenuhnya bergantung pada fitur iklan yang disediakan oleh marketplace.
Kendali Jangka Panjang: Ketergantungan ini membuat UMKM sulit untuk keluar dari platform. Mereka tidak memiliki fondasi pelanggan yang kuat di luar marketplace, sehingga jika suatu saat platform menaikkan biaya atau mengubah kebijakan, mereka tidak punya pilihan selain tunduk. Ini seperti membangun rumah digital di atas tanah sewa, di mana pemilik tanah bisa menaikkan sewa kapan saja dan kita tidak bisa menolak.
Banyak penjual mengeluhkan kebijakan pengembalian barang yang cenderung lebih memihak pembeli. Terkadang, pengembalian disetujui tanpa validasi yang memadai, membuat penjual merugi dari segi produk, biaya kirim, hingga pengemasan. Hal ini menjadi risiko finansial yang signifikan bagi UMKM, terutama jika produk yang dijual adalah barang dengan harga rendah atau rentan rusak. Ketidakadilan ini membuat banyak penjual merasa tidak terlindungi oleh platform yang seharusnya menjadi mitra.
Isu Regulasi dan Keadilan dalam Ekosistem E-commerce
Kekuatan besar yang dimiliki marketplace telah memicu sorotan dari pemerintah dan lembaga terkait. Isu ini menunjukkan bahwa dominasi platform memiliki dampak yang lebih luas dari sekadar biaya, menyentuh ranah regulasi dan keadilan.
Shopee pernah disorot oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait dugaan praktik monopoli. Shopee dituduh mengarahkan penjual untuk menggunakan jasa logistik tertentu seperti J&T Express dan Shopee Express. Penjual yang tidak patuh akan mengalami penalti, seperti keterlambatan pengiriman, yang secara efektif memaksa mereka untuk mengikuti aturan yang menguntungkan platform. Meskipun Shopee telah melakukan perbaikan, kasus ini menjadi bukti nyata bahwa dominasi pasar sebuah platform bisa menjadi ancaman serius bagi persaingan yang sehat dan kebebasan berbisnis bagi UMKM.
Sisi gelap lain yang sering terlupakan adalah dampaknya terhadap para mitra logistik dan kurir. Platform memiliki kekuatan untuk mengubah kebijakan operasional secara sepihak, seperti mengubah skema insentif atau komisi. Perubahan ini sering kali mengurangi pendapatan para kurir, yang merupakan tulang punggung operasional e-commerce. Hal ini menimbulkan ketidakpastian finansial dan rasa ketidakadilan bagi para pekerja yang berada di garis depan. Tuntutan untuk bekerja lebih cepat dan efisien sering kali tidak diimbangi dengan kompensasi yang adil, menciptakan kondisi kerja yang menekan.
Melihat realitas ini, sudah saatnya para pelaku UMKM berhenti terlena dan mulai membangun strategi jangka panjang. Marketplace adalah alat, bukan fondasi bisnis.
Ini adalah langkah paling fundamental. Memiliki website atau toko online sendiri memberikan Anda kendali penuh. Anda tidak perlu lagi memikirkan biaya admin yang mencekik, biaya promo yang dipaksakan, atau perang harga yang tidak sehat. Setiap rupiah yang masuk adalah 100% milik Anda. Selain itu, Anda bisa membangun merek (brand) Anda dengan lebih kuat. Platform seperti WordPress (dengan plugin WooCommerce) atau Shopify bisa menjadi pilihan untuk memulai. Ini adalah investasi jangka panjang yang jauh lebih menguntungkan.
Data pelanggan adalah aset paling berharga. Mulailah membangun database pelanggan Anda sendiri. Caranya? Minta pelanggan mendaftar sebagai anggota di website Anda, tawarkan diskon khusus untuk pembelian pertama, atau minta mereka bergabung ke grup WhatsApp atau newsletter email Anda. Dengan data ini, Anda bisa secara proaktif berkomunikasi dengan mereka, membangun hubungan, dan menciptakan loyalitas. Pelanggan yang loyal akan menjadi aset terbesar Anda.
Jangan pernah bergantung pada satu platform. Gunakan marketplace sebagai pintu masuk, tapi arahkan pelanggan loyal Anda ke platform milik Anda sendiri. Jadikan marketplace sebagai “salesman” Anda, bukan “pemilik bisnis” Anda. Selain website, manfaatkan media sosial, dan bahkan saluran penjualan offline untuk memperluas jangkauan. Diversifikasi adalah kunci untuk mengurangi risiko dan membangun bisnis yang lebih tangguh.
Pada akhirnya, apa pun platform yang digunakan, yang akan memenangkan hati pelanggan adalah kualitas produk yang konsisten dan pengalaman berbelanja yang menyenangkan. Fokuslah untuk terus meningkatkan kualitas produk, mendengarkan masukan dari pelanggan, dan memberikan pelayanan terbaik. Bangun brand story yang kuat, dan biarkan produk Anda berbicara untuk dirinya sendiri.
Marketplace telah membawa perubahan besar, namun keberadaan mereka juga menunjukkan sisi gelap dari kapitalisme digital. Para UMKM yang seharusnya menjadi mitra strategis, seringkali diperlakukan sebagai sumber pendapatan pasif. Narasi keberhasilan yang mereka gaungkan seringkali hanya menjadi bagian dari strategi pemasaran untuk menarik lebih banyak penjual, yang pada akhirnya akan menjadi sumber pendapatan pasif bagi mereka.
Jalan menuju kemandirian digital memang tidak mudah, namun ini adalah investasi terbaik yang bisa dilakukan oleh para pelaku UMKM. Ini adalah tentang mengambil kembali kendali, membangun bisnis yang berkelanjutan, dan memastikan bahwa setiap tetes keringat yang Anda keluarkan, benar-benar berbuah manis untuk Anda sendiri, bukan untuk platform yang memanfaatkan Anda. Sudah waktunya UMKM Indonesia berhenti diperas, dan mulai bertumbuh dengan kekuatan dan kemandirian mereka sendiri.
Sumber Referensi
Kontan.co.id. (2024). Biaya Layanan Shopee Terbaru 2024, Penjual Wajib Tahu. Diakses dari https://keuangan.kontan.co.id/news/biaya-layanan-shopee-terbaru-2024-penjual-wajib-tahu
Kumparan.com. (2022). Shopee Diduga Lakukan Praktik Monopoli, KPPU Naikkan Status ke Tahap Penyidikan. Diakses dari https://kumparan.com/kumparanbisnis/shopee-diduga-lakukan-praktik-monopoli-kppu-naikkan-status-ke-tahap-penyidikan-1xT2wzR3HhM
CNBC Indonesia. (2023). Kurir di Tengah Badai PHK & Potongan Upah Tokopedia, Shopee, & Gojek. Diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/tech/20230206105315-37-410714/kurir-di-tengah-badai-phk-potongan-upah-tokopedia-shopee-gojek
Asosiasi UMKM Indonesia (AKUMANDIRI). Berbagai laporan dan riset internal terkait keluhan biaya marketplace.
Riset Mandiri Penulis: Berdasarkan analisis terhadap kebijakan platform dan pengalaman penjual UMKM di berbagai forum dan media sosial.