Kerinduan adalah sebuah perjalanan yang sangat personal. Bagi sebagian dari kita, rindu datang sebagai nostalgia yang hangat, jembatan menuju kenangan manis. Tapi saya tahu, bagi sebagian lainnya, rindu bisa menjadi sebuah memori yang terus-menerus kembali, menghantui kita, baik saat terjaga maupun di dalam mimpi.
Saya sering bertanya-tanya, mengapa kenangan yang seharusnya indah justru bisa terasa begitu menyakitkan? Dan bagaimana kita bisa berdamai dengan sisi gelap dari kerinduan ini? Melalui proses pemahaman, saya sadar bahwa rindu yang menghantui itu bukanlah kesalahan, melainkan bagian dari sebuah proses yang sangat manusiawi. Saya ingin berbagi apa yang telah saya temukan, yang mungkin bisa membantu kita semua.
Belakangan ini saya mencoba mencari buku atau sumber referensi untuk memahami mengapa rindu ini tidak hilang-hilang. Ternyata, jawabannya ada di otak kita. Hubungan emosional yang kita bangun itu melibatkan berbagai zat kimia kebahagiaan seperti dopamin dan oksitosin. Saat kita bersama orang yang kita sayangi, otak kita seperti mendapatkan hadiah yang sangat menyenangkan.
Nah, saat mereka tidak ada lagi, aliran zat-zat kimia itu berkurang. Otak kita pun merasa kehilangan dan secara alami mencari kembali “hadiah” yang hilang itu. Rasanya seperti ada bagian dari diri kita yang tiba-tiba kosong, dan itulah yang kita sebut rindu.
Selain penjelasan ilmiah, saya juga menemukan cara pandang lain yang tak kalah membantu. Rindu juga bisa kita lihat melalui kacamata filsafat, yang membahas bukan hanya apa yang terjadi di otak, tapi juga mengapa hal ini membentuk kita.
Filsuf Plato memiliki gagasan tentang Anamnesis, atau ingatan. Ia percaya bahwa jiwa kita pernah berada di alam yang sempurna, dan pengetahuan kita di dunia ini hanyalah “pengingatan kembali.” Dalam konteks kerinduan, ini bisa diartikan sebagai rasa rindu kita terhadap sesuatu yang ideal, yang sempurna, yang pernah kita kenal. Kerinduan adalah bukti bahwa kita pernah mengalami keindahan yang begitu dalam, dan jiwa kita berusaha mengingatnya kembali.
Di sisi lain, filsuf Jean-Paul Sartre melihat rindu dari sudut pandang yang berbeda. Ia berfokus pada kebebasan dan ketiadaan. Menurutnya, saat kita merindukan seseorang, kita sedang dihadapkan pada ketiadaan mereka. Hal ini memaksa kita untuk menyadari bahwa kita sendirian dalam menciptakan makna hidup. Rindu menjadi pengingat bahwa kita tidak bisa bergantung pada kehadiran orang lain untuk mendefinisikan diri kita. Ini adalah tantangan untuk berani mengambil kendali dan menciptakan makna baru.
Memahami rindu dari sisi sains dan filsafat membantu saya melihatnya bukan sebagai musuh, melainkan sebagai bagian dari diri saya. Berdamai dengan rindu bukan berarti melupakan, tetapi tentang mengubah hubungan saya dengan kenangan itu. Ini beberapa hal yang saya pelajari dan saya harap bisa berguna juga untukmu:
Saya Membiarkan Diri Merasa. Awalnya, saya mencoba menahan air mata dan rasa sakit. Tapi saya sadar, rasa itu perlu diakui. Saya membiarkan diri saya merasakan semua duka, tanpa menghakimi. Ini adalah langkah paling awal dan paling sulit.
Saya Mengubah Cara Pandang. Dulu, saya melihat kenangan yang menyakitkan sebagai beban. Sekarang, saya mencoba melihatnya sebagai pengingat betapa beruntungnya saya pernah memiliki orang itu dalam hidup. Saya mencoba melihatnya sebagai bukti cinta, bukan sumber penderitaan.
Saya Menemukan Cara untuk Berbagi. Saya sadar, saya tidak bisa menanggung ini sendirian. Saya mulai menulis seperti blogging atau pada secarik kertas yg kemudian saya buang, menuangkan semua yang saya rasakan. Terkadang, saya juga berbagi cerita dengan orang terdekat yang bisa saya percaya.
Saya Menciptakan Ritual Kecil. Rindu seringkali terkait dengan rutinitas yang dulu kita lakukan bersama. Saya mencoba menciptakan ritual baru untuk menghormati kenangan itu, seperti mengunjungi tempat favorit atau melakukan hobi yang mengingatkan saya pada “sesuatu”. Ini membantu saya merasa lebih dekat tanpa terbebani.
Saya Belajar untuk Sabar. Berdamai adalah sebuah perjalanan. Terkadang saya merasa sudah jauh melangkah, tapi di lain waktu rasa sakit itu bisa kembali lagi. Dan itu tidak apa-apa. Saya belajar untuk sabar dan memberikan diri saya waktu.
Rasa rindu yang menghantui bukanlah akhir dari segalanya. Ini adalah bagian dari proses yang bisa kita lewati. Dengan memberikan diri kita ruang untuk memahami dan menerima kenangan yang menyakitkan, rindu yang tadinya terasa seperti beban perlahan akan berubah menjadi hadiah.
Saya sendiri mengalami perjalanan ini, yang terasa sangat personal. Selama 20 tahun, saya berjuang dengan mimpi berulang yang terasa seperti siksaan. Saya terbangun dengan rasa lelah dan sedih, berulang kali, karena memori yang terus berputar. Tapi setelah melalui proses panjang, saya menemukan kedamaian dan rasa syukur.
Kisah personal saya adalah bukti nyata bahwa berdamai dengan rindu adalah sebuah perjalanan yang sangat mungkin dilakukan. Anda bisa membaca cerita lengkapnya di sini: Mimpi yang Berulang.
Semoga Anda juga bisa berdamai dengan rindumu.
Sebagai tambahan, jika Anda tertarik untuk mendalami perspektif ini, berikut adalah dua referensi yang bisa menjadi titik awal:
Plato – Dialog Phaedrus: Dalam dialog ini, Plato membahas tentang memori (`anamnesis`) dan bagaimana jiwa ‘mengingat’ kembali keindahan yang pernah dikenalnya.
Jean-Paul Sartre – Being and Nothingness: Karya ini membahas tentang ketiadaan dan kebebasan. Anda dapat menemukan pandangan Sartre mengenai bagaimana ketiadaan orang yang kita cintai memengaruhi makna hidup kita.