Selama 20 tahun terakhir, setiap kali saya memejamkan mata, sering kali saya disambut oleh mimpi yang sama. Di dalamnya, selalu ada dia, orang yang sangat saya sayangi, namun kini sudah tidak ada. Awalnya, mimpi itu terasa seperti hadiah, namun seiring waktu, ia berubah menjadi misteri, lalu beban yang berat di dada. Bangun di pagi hari dengan perasaan rindu yang masih terasa nyata, saya bertanya-tanya, “Mengapa ingatan ini terus datang? Mengapa otak saya tidak bisa merelakannya?”
Ketika kegelisahan itu memuncak, saya punya tempat pelarian favorit yaitu perpustakaan Rungkut, Surabaya. Di sana, di antara rak-rak buku yang menjulang tinggi, saya merasa aman untuk mencari jawaban. Saya tidak mencari jawaban mistis atau ramalan, melainkan buku-buku tentang psikologi dan ilmu saraf. Saya ingin memahami mengapa duka ini terasa begitu panjang. Dari sana, saya membaca berbagai teori, termasuk pandangan Sigmund Freud dan Carl Jung tentang simbolisme mimpi, hingga penjelasan neuroscience modern. Saya mulai merangkai kepingan-kepingan puzzle yang telah mengganggu saya selama puluhan tahun.
Saya belajar bahwa mimpi saya bukanlah kutukan, melainkan cara otak saya berkomunikasi dengan masa lalu. Otak kita memiliki dua bagian yang sangat penting yang bekerja saat kita tidur, yaitu Amigdala, bagian yang bertanggung jawab atas emosi, dan Hippocampus, bagian yang mengelola memori jangka panjang.
Selama fase tidur REM (Rapid Eye Movement), otak saya melakukan “konsolidasi memori.” Ini seperti sebuah proses pengarsipan. Karena ingatan tentang dia memiliki muatan emosional yang sangat kuat (berkat amigdala yang aktif), otak saya secara otomatis memprioritaskannya. Itu sebabnya, setiap kali saya memimpikannya, bukan hanya gambarnya saja yang muncul, tapi juga perasaan hangat, rindu, dan cinta yang sangat nyata. Otak saya seolah terus memutar ulang “film” itu, bukan untuk menyiksa, melainkan mencoba memproses dan menyimpannya di tempat paling aman dalam diri saya.
Membaca lebih dalam tentang psikologi membuat saya menyadari bahwa mimpi ini mungkin adalah cerminan dari proses duka yang panjang. Duka, saya belajar, bukanlah sebuah garis lurus yang memiliki akhir. Ia adalah sebuah gelombang yang datang dan pergi.
Namun, pada akhirnya, saya menyadari sebuah kebenaran yang lebih personal: mungkin rindu ini memang tidak akan pernah benar-benar terobati. Ia bukan luka yang akan sembuh, melainkan sebuah bagian dari diri saya sekarang. Setelah 20 tahun, saya tahu, saya tidak bisa terus melawan perasaan ini. Alih-alih menyingkirkannya, saya belajar untuk berdamai dengan rasa rindu yang terkadang terasa menyiksa ini. Saya menerima bahwa ia adalah bagian dari identitas saya, sebuah bukti abadi dari betapa berartinya orang itu dalam hidup saya.
Setelah semua pencarian dan perenungan itu, pandangan saya tentang mimpi ini berubah total. Dulu, mimpi ini terasa seperti siksaan, pengingat yang menyakitkan akan sesuatu yang hilang selamanya. Setiap pagi, saya merasa sedih dan lelah.
Namun kini, saya melihatnya secara berbeda. Mimpi itu bukan lagi sebuah beban, melainkan sebuah hadiah yang dikirimkan oleh otak saya sendiri. Ini adalah pengingat bahwa koneksi saya dengan orang itu begitu kuat sehingga ingatan tentangnya tidak akan pernah pudar. Ini adalah cara otak saya menghormati kenangan itu, menunjukkan betapa berartinya cinta dan dia dalam hidup saya.
Ketika saya terbangun dari mimpi yang sama, perasaan saya berbeda. Saya tidak lagi bertanya “mengapa,” melainkan tersenyum, berterima kasih, dan melanjutkan hari. Mimpi itu bukan lagi sebuah siksaan, melainkan sebuah pengingat yang lembut, sebuah pesan pribadi dari otak dan hati saya, yang terus menjaga kenangan paling berharga.