Dalam beberapa tahun terakhir, sebuah nama telah menjadi sangat akrab di telinga jutaan anak dan remaja di Indonesia, yaitu Roblox. Sebagai fenomena global, platform game daring ini telah melampaui batas sebagai sekadar hiburan. Ia menjelma menjadi sebuah dunia virtual yang luas, tempat para pengguna tidak hanya bisa menikmati beragam permainan, tetapi juga merancang dan menciptakan dunia mereka sendiri. Mulai dari anak-anak yang membangun rumah virtual hingga remaja yang belajar coding untuk membuat game, Roblox telah menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap digital dan kreativitas anak-anak di Indonesia, dengan jutaan pemain aktif setiap harinya. Namun, popularitas yang meluas ini datang bersamaan dengan sorotan tajam dari pemerintah dan masyarakat terkait konten di dalamnya.
Kekhawatiran pemerintah, terutama yang disuarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, berpusat pada potensi bahaya yang mengintai di balik layar. Isu kekerasan, konten dewasa, dan perjudian yang mungkin terselip dalam ribuan “dunia” yang dibuat oleh pengguna menjadi alasan utama di balik pertimbangan untuk mengambil langkah tegas. Dikhawatirkan, paparan konten semacam itu bisa memengaruhi perilaku, mental, dan perkembangan anak-anak. Di satu sisi, langkah ini dilihat sebagai upaya proaktif untuk menjalankan kewajiban moral negara dalam melindungi generasi muda dari paparan digital yang tidak sehat. Di sisi lain, wacana ini memicu perdebatan sengit. Banyak pihak berargumen bahwa pemblokiran adalah solusi yang terlalu drastis, yang justru bisa mematikan potensi kreatif dan edukatif yang ditawarkan oleh platform tersebut.
Artikel ini akan mengupas tuntas dilema yang rumit ini. Kita akan menganalisis secara mendalam argumen-argumen dari kedua belah pihak: mengapa pemblokiran dianggap perlu dan apa dasar teori di baliknya, serta mengapa langkah tersebut dianggap keliru. Dengan mengacu pada berbagai teori ilmiah dan data yang relevan, kita akan mencari titik temu untuk merumuskan solusi yang lebih cerdas dan berkelanjutan. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa perlindungan anak bisa berjalan seiring dengan kemajuan teknologi, tanpa harus mengorbankan masa depan kreativitas dan inovasi digital di Indonesia.
Wacana pemblokiran Roblox oleh pemerintah bukan tanpa alasan. Argumentasi utama dari pihak yang mendukung langkah ini berakar pada kekhawatiran mendalam terhadap kesejahteraan psikologis dan keamanan anak-anak di dunia digital. Mereka melihat pemblokiran sebagai tindakan preventif yang diperlukan untuk melindungi generasi muda dari berbagai ancaman yang sulit dikendalikan.
Para pendukung pemblokiran sering kali merujuk pada bahaya paparan konten yang tidak pantas, terutama yang berkaitan dengan kekerasan. Kekhawatiran ini didukung oleh teori-teori psikologi yang telah lama menjadi dasar dalam studi media dan perilaku anak.
Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory) oleh Albert Bandura adalah salah satu landasan teoretis yang paling relevan. Teori ini menyatakan bahwa anak-anak belajar perilaku, termasuk agresi, melalui observasi dan imitasi. Ketika seorang anak secara berulang kali terpapar pada adegan kekerasan dalam permainan, mereka cenderung menginternalisasi perilaku tersebut sebagai hal yang wajar dan dapat diterima. Di Roblox, di mana ribuan game buatan pengguna tersedia, beberapa di antaranya bisa menampilkan adegan perkelahian, baku tembak, atau simulasi tindakan kriminal secara eksplisit. Meskipun dalam bentuk animasi, paparan terus-menerus bisa membentuk pola pikir anak, yang berisiko meniru perilaku tersebut di dunia nyata.
Selain itu, Efek Desensitisasi juga menjadi poin krusial. Konsep ini menjelaskan bagaimana paparan berulang terhadap kekerasan dalam media dapat membuat individu menjadi kurang sensitif atau acuh tak acuh terhadap penderitaan orang lain. Bagi anak-anak yang belum sepenuhnya memahami konsep empati, efek ini bisa sangat berbahaya. Mereka mungkin menganggap kekerasan sebagai hal yang lumrah, mengurangi kemampuan mereka untuk berempati, dan meningkatkan toleransi mereka terhadap perilaku agresif.
Kekhawatiran ini bukan sekadar teori. Di berbagai media, baik di dalam maupun luar negeri, muncul laporan tentang konten-konten berbahaya di Roblox. Pada tahun 2021, media internasional sempat menyoroti adanya game di Roblox yang mensimulasikan penyerangan, perampokan, atau bahkan situasi yang tidak senonoh. Laporan serupa dari media lokal Indonesia juga pernah mencuat, di mana orang tua mengeluhkan adanya konten berbau seksual dan kekerasan yang mudah diakses oleh anak-anak mereka. Kasus-kasus ini memperkuat argumen bahwa pengawasan di dalam platform masih belum optimal.
Dengan adanya ancaman-ancaman ini, peran negara dalam regulasi menjadi sangat penting. Pemerintah memiliki kewajiban untuk menjaga ruang digital yang aman, terutama bagi anak-anak. Langkah pemblokiran didasarkan pada Undang-Undang Perlindungan Anak serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang memberikan wewenang kepada pemerintah untuk memblokir akses ke situs atau platform yang mengandung konten ilegal, pornografi, atau yang membahayakan anak-anak.
Meskipun Roblox memiliki kebijakan komunitas dan sistem moderasi, kekhawatiran utama tetap pada efektivitasnya. Hal ini terutama disebabkan oleh karakteristik utama platform tersebut, yaitu sistem konten buatan pengguna (User-Generated Content atau UGC).
Sistem UGC memungkinkan setiap pengguna untuk menjadi kreator. Di satu sisi, ini adalah kekuatan yang luar biasa. Namun, di sisi lain, ini adalah tantangan moderasi yang sangat besar. Dengan jutaan pengguna yang terus-menerus mengunggah konten baru, mustahil bagi tim moderasi Roblox untuk memeriksa setiap “dunia” secara manual sebelum dipublikasikan. Akibatnya, beberapa konten yang tidak pantas atau melanggar aturan bisa lolos dari pengawasan dan diakses oleh anak-anak.
Kekhawatiran ini juga menyoroti tanggung jawab platform. Meskipun Roblox telah menyediakan fitur kontrol orang tua (parental control), banyak orang tua di Indonesia yang tidak mengetahui atau tidak memahami cara menggunakannya secara efektif. Kurangnya edukasi dan sosialisasi mengenai fitur ini membuat pengawasan dari orang tua menjadi tidak maksimal. Pihak yang mendukung pemblokiran berpendapat bahwa platform seharusnya lebih proaktif dalam memastikan lingkungan yang aman, bukan hanya bergantung pada pengawasan orang tua yang bervariasi.
Masalah moderasi ini bukan hanya dialami oleh Roblox. Banyak platform digital lain yang juga berbasis UGC menghadapi tantangan serupa. TikTok, misalnya, juga sering kali dikritik karena konten yang tidak pantas dan berbahaya bagi anak-anak, meskipun mereka telah berinvestasi besar pada sistem moderasi. Demikian pula dengan YouTube, yang harus terus-menerus memerangi video dengan konten kekerasan atau pornografi yang berhasil lolos dari filter. Perbedaan utamanya, dalam kasus Roblox, adalah interaksi yang lebih imersif dan format game yang berpotensi lebih kuat dalam memengaruhi perilaku anak-anak. Jika platform lain seperti TikTok dan YouTube sering menjadi sasaran kritik, maka Roblox yang memiliki karakteristik serupa dianggap menghadapi risiko yang tidak kalah serius, sehingga langkah pemblokiran dianggap sepadan.
Di sisi lain, wacana pemblokiran Roblox menuai kritik keras dari berbagai pihak, mulai dari para orang tua yang pro-teknologi, pendidik, hingga para pengembang game lokal. Mereka berpendapat bahwa pemblokiran adalah solusi yang terlalu sederhana untuk masalah yang kompleks dan berpotensi menghilangkan manfaat besar yang ditawarkan oleh platform tersebut. Argumentasi mereka berfokus pada potensi edukatif, tantangan dalam implementasi, dan pentingnya literasi digital.
Para penentang pemblokiran menekankan bahwa Roblox tidak bisa disamakan dengan game konvensional. Platform ini adalah wadah kreativitas yang unik, di mana para pengguna tidak hanya berperan sebagai pemain, tetapi juga sebagai kreator. Argumentasi ini didukung oleh berbagai teori pendidikan modern.
Teori Kognitif-Konstruktivisme, yang dipelopori oleh tokoh seperti Jean Piaget dan Lev Vygotsky, menekankan bahwa anak-anak membangun pengetahuan mereka sendiri melalui interaksi aktif dengan lingkungan. Di Roblox, anak-anak tidak sekadar mengonsumsi konten, tetapi secara langsung terlibat dalam proses kreatif. Mereka belajar coding menggunakan bahasa pemrograman Lua, mendesain model 3D, hingga merancang logika permainan. Ini adalah bentuk pembelajaran aktif yang sangat efektif, melatih pemecahan masalah, berpikir logis, dan kreativitas. Platform ini berfungsi sebagai “kotak pasir digital” di mana anak-anak bisa bereksperimen, gagal, dan belajar kembali tanpa takut. Berbagai kisah sukses anak-anak dan remaja di Indonesia yang berhasil menciptakan game populer dan bahkan mendapatkan penghasilan dari sana menjadi bukti nyata dari potensi edukasi ini. Memblokir platform ini berarti mematikan potensi ribuan calon kreator dan inovator digital di masa depan.
Selain itu, Teori Keterlibatan Media menjelaskan bagaimana media yang interaktif dan personal dapat meningkatkan motivasi internal dan rasa kepemilikan. Dengan menciptakan sendiri “dunia” di Roblox, anak-anak merasa memiliki kendali dan tujuan, yang memicu mereka untuk belajar lebih dalam dan mengembangkan keterampilan baru secara mandiri. Ini adalah bentuk pembelajaran yang jauh lebih kuat daripada metode konvensional.
Argumentasi kontra-pemblokiran yang paling kuat adalah bahwa langkah ini bersifat reaktif dan tidak menyelesaikan akar masalah. Pemblokiran hanya akan menjadi solusi sementara, karena anak-anak akan dengan mudah mencari platform atau aplikasi lain yang serupa, atau bahkan menggunakan VPN untuk tetap mengaksesnya. Ini adalah masalah mendasar dari pendekatan sensor. Pemblokiran tidak mendidik, tetapi hanya membatasi akses.
Solusi yang jauh lebih fundamental dan berkelanjutan adalah literasi digital dan pengawasan orang tua. Alih-alih memblokir, pemerintah dan institusi pendidikan seharusnya berinvestasi dalam mengedukasi anak-anak dan orang tua tentang cara menavigasi dunia digital dengan aman. Konsep literasi digital mencakup kemampuan untuk berpikir kritis, mengenali konten berbahaya, dan berinteraksi secara sehat di internet. Jika anak-anak memiliki pemahaman ini, mereka akan mampu melindungi diri mereka sendiri di platform apapun, bukan hanya Roblox.
Peran orang tua juga sangat krusial. Roblox telah menyediakan fitur kontrol orang tua yang bisa diatur untuk membatasi jenis konten yang bisa diakses oleh anak. Namun, banyak orang tua yang belum menyadari fitur ini. Daripada memblokir, pemerintah bisa bekerja sama dengan platform dan komunitas untuk menyosialisasikan pentingnya dan cara penggunaan fitur tersebut. Ini akan memberdayakan orang tua untuk menjadi “penjaga gerbang” digital bagi anak-anak mereka, sebuah peran yang tidak bisa digantikan oleh pemerintah.
Terakhir, dampak ekonomi dari pemblokiran juga tidak bisa diabaikan. Banyak pengembang game muda di Indonesia yang mengandalkan Roblox sebagai wadah untuk memulai karier mereka. Mereka mendapatkan penghasilan dari game yang mereka ciptakan. Pemblokiran platform ini akan secara langsung merugikan ekosistem ekonomi digital yang sedang berkembang di Tanah Air, mematikan potensi wirausaha muda dan menghambat pertumbuhan industri kreatif.
Melihat kompleksitas dilema antara perlindungan anak dan potensi kreativitas, jelas bahwa pemblokiran bukanlah satu-satunya jawaban. Solusi yang paling efektif harus menggabungkan berbagai pendekatan dari semua pihak yang terlibat. Pendekatan holistik ini berfokus pada kolaborasi, edukasi, dan regulasi yang cerdas, bukan pada tindakan represif.
Untuk memahami solusi yang efektif, kita dapat menggunakan Teori Ekologis (Ecological Systems Theory) dari Urie Bronfenbrenner. Teori ini melihat perkembangan anak dalam konteks sistem lingkungan yang berlapis dan saling berhubungan. Dalam konteks ini, anak tidak berkembang dalam ruang hampa, melainkan dipengaruhi oleh berbagai sistem, mulai dari keluarga (mikrosistem), sekolah (mesosistem), hingga media massa dan kebijakan pemerintah (makrosistem). Oleh karena itu, solusi untuk masalah Roblox harus menyentuh semua lapisan ini.
Menciptakan lingkungan digital yang aman membutuhkan kerja sama erat antara pemerintah, platform, dan masyarakat. Pemblokiran hanya akan memutus komunikasi ini.
Dialog Pemerintah-Platform: Alih-alih langsung memblokir, pemerintah bisa memulai dialog dengan Roblox Corporation. Tujuannya adalah untuk mendesak platform agar meningkatkan sistem moderasi mereka di Indonesia, mungkin dengan menambah tim moderator berbahasa Indonesia atau menyediakan fitur filter konten yang lebih ketat sesuai dengan norma lokal. Selain itu, pemerintah bisa meminta platform untuk lebih transparan tentang kebijakan dan langkah-langkah mereka dalam melindungi pengguna anak.
Regulasi yang Spesifik dan Tidak Menghukum: Pemerintah dapat merancang regulasi yang lebih spesifik untuk platform game, alih-alih menggunakan undang-undang yang bersifat umum seperti UU ITE. Regulasi ini bisa mencakup kewajiban sistem rating usia yang jelas, mekanisme pelaporan konten yang mudah diakses, dan sanksi yang proporsional bagi platform yang lalai, tanpa harus memblokir akses secara keseluruhan. Contohnya, memberikan insentif bagi developer yang menciptakan konten edukatif dan ramah anak.
Pada akhirnya, wacana pemblokiran Roblox adalah cerminan dari tantangan besar dalam menyeimbangkan perlindungan anak dengan potensi inovasi digital. Di satu sisi, kekhawatiran pemerintah tentang konten kekerasan dan bahaya lainnya sangatlah valid, didukung oleh teori psikologis seperti Teori Belajar Sosial dan Efek Desensitisasi. Namun, di sisi lain, Roblox adalah platform yang menawarkan kesempatan unik bagi anak-anak untuk belajar dan berkreasi, sebuah potensi yang terlalu berharga untuk diblokir begitu saja.
Maka, solusi terbaik bukanlah pemblokiran, melainkan pendekatan yang holistik, kolaboratif, dan berkelanjutan. Dengan menerapkan Teori Ekologis Urie Bronfenbrenner, semua pihak—orang tua, sekolah, dan pemerintah—harus bekerja sama. Pemerintah perlu mengadopsi regulasi yang cerdas dan memfasilitasi dialog dengan platform, sementara orang tua dan sekolah harus menjadi garda terdepan dalam menumbuhkan literasi digital yang kuat pada anak-anak.
Menciptakan ruang digital yang aman bukan berarti harus menutup akses, tetapi memastikan bahwa anak-anak memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan untuk menjelajahinya dengan bijak. Dengan demikian, kita dapat melindungi anak-anak tanpa mengorbankan masa depan mereka sebagai kreator digital yang inovatif. Ini adalah jalan tengah yang paling realistis dan produktif untuk masa depan bangsa.