Manusia memang hobi sekali bermain sulap dengan realitas. Sejak dulu, yang nyata berpasangan dianggap hukum alam, seperti terang dan gelap, siang dan malam, atas dan bawah. Semua itu indah, simetris, dan memang benar adanya. Tapi entah siapa yang pertama kali iseng, ada saja yang tiba-tiba menjejalkan pasangan baru ke daftar, pria katanya logika, wanita katanya perasaan. Seakan-akan hukum alam butuh pasal baru supaya bumi tetap berputar.
Lucunya, pasangan yang dipaksakan ini justru lebih laris daripada fakta-fakta ilmiah. Kenapa? Karena stereotip ini enak dipakai. Ia praktis, bisa dipakai untuk menang debat di dapur sampai rapat kantor. Wanita cukup menghela napas sambil bilang, “aku kan pakai perasaan,” maka pria langsung kena skakmat. Pria pun balik menyerang dengan jargon “logika saya bilang begini,” seakan-akan punya hak paten atas otak kiri. Jadilah kita hidup dalam drama panjang yang sebenarnya cuma hasil imajinasi kolektif, tapi dianggap sama seriusnya dengan gravitasi Newton.
Saking suksesnya stereotip ini, filsuf, psikolog, bahkan para penceramah ikut nimbrung membubuhkan stempel. Narasi pun tumbuh subur pria logis, wanita perasaan. Padahal, kalau logika benar-benar hanya milik pria, sejarah penuh keputusan bodoh dari para lelaki perkasa itu mau ditaruh di mana? Dan kalau perasaan hanya milik wanita, bagaimana dengan puisi-puisi cinta karya para lelaki yang berlinang air mata di tepi gelas beralkohol? Ironinya, realitas membantah, tapi mitos tetap bertahan.
Kalau ada stereotip yang paling laris sepanjang sejarah, inilah dia: pria diklaim sebagai makhluk logika, wanita disebut sebagai mahluk perasaan. Label ini begitu populer sampai-sampai orang lupa kalau aslinya cuma hasil warisan budaya, bukan wahyu dari langit. Mari kita telusuri bagaimana ide absurd dan tolol ini bisa lahir dan bertahan ribuan tahun.
Para filsuf Yunani kuno punya hobi yang unik, mereka suka membelah dunia jadi dua kubu. Logos alias logika ditempatkan di sisi maskulin atau rasional, kokoh, dan tentu saja pantas memimpin. Sementara Pathos dan Eros alias perasaan diseret masuk ke ranah feminin atau emosional, sensitif, cocoknya di dapur atau ruang tamu. Hebatnya, pembagian ini diterima begitu saja seakan Plato pernah survei ribuan pasangan rumah tangga dengan kuesioner Google Form. Padahal ya cuma hasil renungan sambil ngopi di serambi Athena.
Ironi besarnya, yang menulis teori-teori hebat tentang logika maskulin itu kebanyakan pria. Jadi tentu saja hasilnya pria tampak jenius, wanita dikesankan sentimental. Kalau saja waktu itu ada filsuf perempuan yang boleh buka mulut, mungkin ceritanya berbeda, bisa jadi justru pria yang dicap gampang tersulut emosi, mengingat sejarah penuh perang yang dipicu ego jantan, bukan air mata wanita.
Masuk abad ke-20, giliran psikolog ikut menambah bumbu. Carl G. Jung dengan mantap menyebut Logos sebagai prinsip maskulin dan Eros sebagai prinsip feminin. Keren? Memang. Masuk akal? Tidak juga. Tapi karena yang bicara seorang bapak psikologi analitik, semua orang mengangguk-angguk. Jung ibarat chef yang berhasil menjual resep lama dalam kemasan baru. Padahal, kalau mau jujur, hidup manusia terlalu kompleks untuk diperas menjadi dua bumbu dapur bernama logika dan perasaan.
Lebih parah lagi, konsep ini akhirnya merembes ke buku-buku populer. Hasilnya? Pasangan bertengkar di ruang tamu, lalu buru-buru menyimpulkan “Kamu emang gitu, pake perasaan terus.” Seakan-akan Jung hadir di antara mereka sambil kasih cap “valid”. Inilah contoh klasik bagaimana ilmu setengah matang bisa jadi senjata rumah tangga.
Tapi jujur saja, yang paling kuat membentuk stereotip ini bukan filsafat atau psikologi, melainkan pola asuh sosial. Dari kecil, anak laki-laki ditekan untuk menahan tangis: “Cowok nggak boleh cengeng.” Anak perempuan sebaliknya didorong untuk mengekspresikan emosi “Namanya juga cewek, wajar baper.” Jadi, sebelum masuk sekolah, skrip gender sudah terpasang di otak masing-masing. Logika diklaim pria, perasaan diklaim wanita. Padahal dua-duanya ada di kepala dan hati semua manusia.
Kalau dipikir, ini bukan lagi stereotip, tapi pelatihan sosial massal. Pria dipaksa jadi robot dingin, wanita dijadikan mesin drama. Dan setelah ratusan tahun kita percaya cerita ini, akhirnya banyak yang benar-benar mengira itu sifat alami. Padahal ini cuma produk pendidikan yang absurd, semacam kurikulum tak resmi yang diwariskan turun-temurun, tanpa pernah diuji kelayakannya.
Mitos sering dianggap dongeng yang hanya pantas jadi hiburan pengantar tidur, padahal ia punya cabang ilmu sendiri bernama mitologi. Ironisnya, mitos juga sering dipakai sebagai peluru dalam debat, terutama ketika akal sehat sudah kehabisan amunisi. Di titik inilah batas antara fakta dan fiksi meleleh, dan siapa yang paling piawai bersilat lidah bisa menang, meski logika sudah tersungkur di pojokan.
Salah satu mitos yang paling laris manis adalah kalimat yang saya bahas, “pria itu logika, wanita itu perasaan.” Kalimat ini terdengar keren, bahkan seperti hasil penelitian ilmuwan Oxford, padahal sama kosongnya dengan menyebut bahwa kucing lebih rasional daripada anjing hanya karena ia suka merenung di jendela. Nyatanya, mitos ini sering dijadikan tameng agar satu pihak terlihat lebih unggul dalam setiap adu argumen, sekalipun argumennya rapuh seperti biskuit tersiram kopi.
Yang jarang disadari, bahkan mitos pun ada ilmunya yaitu mitologi. Dalam dunia akademik, mitologi dipakai untuk memahami pola pikir masyarakat dan simbol-simbol budaya. Namun dalam kehidupan sehari-hari, mitos justru dipakai sebagai jurus pamungkas wanita atau pria untuk menghindari dua hal yang paling sulit diucapkan itu “saya salah” dan “maaf.” Dengan begitu, mitos yang seharusnya menjadi objek studi malah berubah menjadi alat politik adu argumen.
Agama sendiri tidak menutup mata terhadap kompleksitas akal dan perasaan. Dalam QS. Yusuf ayat 28, Allah berfirman: Sesungguhnya tipu daya kamu (wanita) itu besar sekali.
Ayat ini muncul dalam konteks khusus kisah Nabi Yusuf, namun sering diangkat dalam perbincangan lebih luas. Menariknya, istilah “tipu daya” di sini bukanlah sekadar luapan emosi, melainkan strategi yang memakai logika untuk memainkan perasaan dan keadaan. Artinya, yang beroperasi bukan hanya emosi mentah, melainkan kecerdikan analitis yang menyusun langkah demi langkah.
Dengan demikian, mitos yang membelah dunia menjadi pria = logika dan wanita = perasaan terbukti tidak konsisten, bahkan bertolak belakang dengan teks suci yang sering dikutip untuk menguatkannya. Justru ayat ini mengindikasikan bahwa akal dan perasaan bisa bekerja bersamaan, bahkan dalam bentuk paling rumit seperti strategi dan manipulasi. Maka, kalau mau jujur, stereotip yang sering dipakai untuk menutup mulut lawan debat itu tidak lebih dari senjata retorika yang rapuh, bukan kebenaran abadi.
Dari kisah kitab suci sampai mitologi, tema ini selalu berulang. Adam jatuh dari surga karena (katanya) tergoda Hawa, Samson kehilangan kekuatan karena Delilah, Mark Antony tumbang karena Cleopatra, Merlin dikurung karena Nimue. Semua kisah itu seolah ingin bilang: logika pria sehebat apapun, tetap kalah oleh perasaan (atau rayuan) wanita. Moral cerita? Pria itu logis, sampai jatuh cinta. Setelah itu, logika pensiun.
Jadi, klaim bahwa pria adalah logika dan wanita adalah perasaan bukan fakta ilmiah, bukan pula dalil agama yang mutlak. Itu hanyalah mitos dan ironisnya, bahkan mitos pun punya ilmunya sendiri. Bedanya, mitologi dipelajari untuk memahami simbol budaya, sedangkan stereotip ini dipelihara agar wanita bisa selalu menang tanpa harus mengaku salah atau meminta maaf. Pria pun diam-diam menerima, karena punya alasan keren kalau kalah, “Tipu daya wanita memang dahsyat.”
Akhirnya, baik pria maupun wanita bukan sekadar logika atau perasaan. Kita semua kombinasi keduanya. Yang bikin repot adalah saat logika dipakai untuk ngeles, dan perasaan dipakai untuk membenarkan diri. Pada titik itu, tidak ada lagi Logos atau Eros. Yang tersisa hanyalah satu hal yang sangat manusiawi, seni bertahan hidup dengan cara ngeles.