Tak Terdengar, Tak Terbaca

Bayangmu datang lagi, bukan lewat mimpi yang semu, tapi melalui bisikan dari halaman-halaman buku pelajaran yang tak sengaja kutemukan. Aroma kertas usang dan tinta yang memudar itu membawa kembali suara bel sekolah, yang dulu menjadi penanda awal dari setiap hari yang penuh tawa. Ada sebuah pulpen yang kini terasa hambar, seolah separuh dari tintanya telah raib bersamaan dengan kepergianmu. Dulu, pulpenmu menjadi saksi bisu coretan-coretan kecil di buku catatan, dari nama-nama kita yang terukir, hingga rencana-rencana masa depan yang kini hanya tinggal kenangan. Ritual itu hanya dijalankan oleh satu jiwa, oleh diriku yang terpaku pada bangku yang kini terasa sangat luas dan kosong.

Ini bukan surat yang akan sampai di tanganmu. Bukan juga pesan digital yang akan memberikan notifikasi ‘read’ atau ‘delivered’. Ini adalah bisikan yang hanya bisa kudengar sendiri, sebuah monolog yang tidak pernah ditujukan untuk siapa pun selain diriku. Aku menuliskannya bukan untuk mendapatkan jawaban, melainkan untuk memberikan ruang bagi perasaan ini. Untuk membiarkan setiap kata yang tertahan di dada mengalir keluar, agar badai yang bergejolak tidak menghancurkanku dari dalam. Ini adalah percakapan satu arah, sebuah terapi diri yang bisu namun menggelegar.

Setiap pulang sekolah, jalanan yang dulu kita lewati terasa berbeda. Pohon-pohon di pinggir jalan yang dulu menjadi saksi bisu langkah kita, kini terasa asing. Aku ingat, kau selalu menceritakan hal-hal lucu yang terjadi di kelas, hingga membuatku tersenyum. Momen-momen itu, meskipun sepele, adalah yang paling berharga dan paling kuingat. Kini, jalanan itu terasa sepi, meskipun banyak orang yang lalu lalang. Karena mereka tidak bisa menggantikanmu. Mereka tidak bisa membuatku tertawa. Mereka tidak bisa membuatku merasa tenang.

Terbelah dalam Kerinduan

Sebagian diriku ikut pergi, entah kemana. Mungkin ia tersesat di persimpangan jalan tempat kita berpisah, atau mungkin ia masih menunggu di halte yang tak pernah kau kunjungi lagi. Sisanya, tetap di sini, terpaku pada memori, memutarnya berulang-ulang seperti kaset lama yang sudah usang. Aku sering bertanya, apakah kepingan diriku yang hilang itu masih punya harapan untuk kembali? Apakah kata-kata yang kubayangkan di kepala ini masih punya arti jika tidak pernah terucap? Setiap hari, aku berdialog dengan bayanganmu, menciptakan percakapan yang begitu hidup, namun hanya ada di dalam kepalaku.

Aku mencoba mencari tahu kabarmu, membuka media sosial yang kini menjadi jendela ke kehidupanmu. Aku melihat fotomu, tawamu, bahkan jejak-jejak baru di sana. Namun, aku tak pernah berani menekan tombol ‘kirim’ pada pesan yang sudah kutulis. Apakah usahaku untuk mencari tahu kabarmu masih ada gunanya jika aku tak pernah berani bertanya? Aku tahu, semua yang kulakukan ini hanya menambah perih. Seolah-olah aku berdiri di balik kaca transparan, bisa melihat segalanya, tapi tak bisa menyentuhmu.

Rindu ini adalah dilema. Ia terbelah menjadi dua. Ada rindu yang ingin bertemu, ingin mendengar suaramu, dan ada rindu yang sadar bahwa semua itu tidak mungkin. Rindu yang pertama membuatku merana, sementara rindu yang kedua mengajarkanku untuk menerima. Inilah peperangan batin yang kuhadapi setiap hari. Aku tahu, semua yang kutulis ini hanyalah percakapan satu arah. Tidak ada ‘read’ atau ‘delivered’. Hanya ada aku, di sini, dengan rindu yang tak pernah sampai, yang terus-menerus membelah diriku menjadi dua bagian yang tidak pernah bisa bersatu.

Senja dan Keramaian yang Sunyi

Senja selalu jadi saksi bisu. Cahaya jingga ini, yang dulu sering kita lihat setiap pulang sekolah, kini kulihat dari balik jendela kelas yang ramai. Warna dan keindahannya sama persis, hanya saja sekarang terasa lebih dingin. Dinginnya bukan karena suhu, tapi karena ketiadaanmu. Dulu, kelas ini adalah tempat yang nyaman. Kini, ia menjadi ruang yang penuh sesak, namun aku merasa paling sendirian. Semua obrolan di sekitarku, tawa yang meledak, dan musik yang mengalun, bagai suara asing yang meredam suaramu yang terus bergema di kepalaku.

Aku memperhatikan sepasang kekasih di sudut ruangan, berbagi tawa dan suapan makanan. Hati kecilku tersentil. Aku ingat saat kita melakukan hal yang sama. Bahkan, aku bisa mendengar resonansi tawamu di dalam hatiku saat aku melihat mereka. Setiap detail kecil menjadi pemicu yang tak pernah lelah mengingatkanku. Aroma hujan di aspal, lagu lama yang tiba-tiba terputar di radio, atau bahkan bangku kosong di taman yang biasa kita singgahi. Semua benda mati itu memiliki kehidupan, karena mereka menyimpan kenangan kita yang tak bisa mati.

Seringkali, aku ingin melarikan diri dari keramaian ini. Tapi, aku sadar, melarikan diri dari keramaian berarti melarikan diri dari diriku sendiri, dari setiap memori yang sudah terukir. Keramaian ini adalah pengingat. Pengingat bahwa dunia terus berputar, dan hidup terus berjalan, bahkan ketika sebagian diriku masih terjebak di masa lalu. Jadi, aku biarkan diriku duduk di sini, di tengah keramaian yang sunyi, membiarkan kenangan dan rindu datang dan pergi. Membiarkan mereka menari-nari di dalam hatiku, sampai akhirnya aku merasa sedikit lega, dan bisa bernapas lagi.

Terapi Menulis: Menata Rasa Lewat Kata

Saat itulah, aku menemukan tulisan. Bukan sebagai hobi, melainkan sebagai pelarian. Jemariku bergerak di atas papan ketik, mencoba menangkap setiap gejolak emosi yang sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata. Setiap paragraf yang kutorehkan adalah usaha untuk menenangkan badai di dada, menguraikan benang kusut yang melilit di dalam pikiranku. Kata-kata ini menjadi terapi. Mereka tidak harus rapi, tidak harus sempurna, yang terpenting mereka bisa keluar. Mereka adalah cerminan dari hatiku, yang kini lebih banyak berbicara melalui tulisan daripada melalui ucapan.

Aku mulai memberanikan diri untuk menggali lebih dalam, menuliskan kenangan yang paling menyakitkan, dan juga yang paling indah. Setiap kalimat adalah upaya berdamai, mengizinkan perasaan ini keluar, namun dengan kontrol penuh. Aku tidak perlu menanggung risiko. Tidak ada yang akan melihat, tidak ada yang akan menghakimi. Ini adalah ruang aman bagiku untuk merasakan segala emosi yang ada, tanpa perlu menyampaikannya ke tujuan yang tidak pasti. Menulis bukan tentang membuatmu membaca. Lebih dari itu, ini adalah tentang bagaimana diriku bisa bernapas lega, memberi ruang pada rindu agar ia tidak menyesakkan, melainkan hidup sebagai bagian yang tak terpisahkan dari diriku.

Ada keajaiban dalam proses ini. Saat menuliskannya, rindu itu perlahan berubah. Ia tidak lagi terasa seperti pisau yang menusuk, melainkan seperti hembusan angin yang sejuk. Aku tidak lagi merasa takut. Aku mulai berani memutar ulang kenangan yang dulu membuatku menangis, dan sekarang aku bisa tersenyum. Bukan senyum yang pahit, melainkan senyum yang tulus karena kenangan itu, bagaimanapun juga, adalah bagian dari cerita yang membentuk diriku sekarang. Setiap kata yang kutorehkan adalah sebuah batu bata yang membangun benteng untuk melindungi hatiku dari kehancuran yang tak berkesudahan.

menulis dan menyimpan rindu, tanpa perlu menyampaikan

Konflik Batin: Antara Ingin dan Tak Boleh

Di tengah kedamaian yang kuraih lewat tulisan, terkadang masih ada dorongan yang begitu kuat untuk menanyakan, “Bagaimana kabarmu?”. Sebuah kalimat sederhana yang bisa mengubah segalanya. Namun, ada kesadaran yang lebih kuat: “Jangan.” Aku tahu, satu pesan singkat itu bisa menghancurkan segalanya. Bisa merusak kenangan indah yang sudah tersimpan rapi, dan menggantikannya dengan realitas yang mungkin tidak seindah bayangan. Aku takut jika kerinduan ini kulepaskan dan sampai ke tujuan, ia akan menghilang. Aku tak ingin melupakan setiap detail yang sudah menjadi bagian dari diriku, setiap memori yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari diriku.

Ketakutan itu bukan hanya tentang jawaban yang akan kuterima, melainkan tentang apa yang akan terjadi pada hatiku setelahnya. Apakah aku akan menyesalinya? Apakah aku akan kehilangan kenangan-kenangan manis yang kini menjadi satu-satunya harta karun yang kupunya? Mungkin, biarkan saja rindu ini menjadi rahasia. Biar dia hidup di dalam, sebagai pengingat pernah ada yang begitu berarti dalam hidupku. Ia adalah pengingat bahwa aku pernah merasakan cinta yang begitu kuat, dan aku pernah merasakan kehilangan yang begitu dalam. Rindu ini adalah bukti bahwa aku pernah hidup sepenuhnya.

Mungkin, ada alasan mengapa rindu ini tak harus sampai. Mungkin, ia adalah jembatan antara masa lalu dan masa kini. Sebuah jembatan yang tidak perlu dilewati, cukup dilihat dan dikenang. Aku belajar untuk hidup berdampingan dengan konflik ini, menerima bahwa ada hal-hal yang tidak bisa aku kontrol. Bahwa ada perasaan yang harus tetap menjadi milikku sendiri, tanpa perlu dibagikan. Inilah peperangan batin yang paling sunyi, di mana yang kalah dan yang menang adalah diriku sendiri. Dan, aku memilih untuk membiarkan rindu itu hidup, tanpa perlu mengganggu siapapun. Tanpa perlu merusak memori indah yang sudah ada.

Also Read: Menulis Rindu

Kilas Balik: Potret Masa Lalu

Saat rindu itu datang, aku biarkan ia mengajakku kembali ke masa lalu. Aku ingat, bagaimana kita tertawa karena hal-hal sepele. Misal, saat kau salah menyebut namaku dengan kata “sayang”, dan itu malah menjadikan pertanyaannya teman-teman kita “kalian pacaran?”. Kita hanya tertawa mendengar pertanyaan itu, sebuah pertanyaan yang binggung harus diberikan jawaban atau tidak. Kau selalu tertawa saat kau memaksaku mengerjakan soal ekonometri seolah kau dibebaskan dari tanggung jawab menyelesaikan tugas soal, karena kau yang selalu diminta menulis dipapan tulis oleh guru untuk ditulis ulang dibuku masing-masing murid dalam kelas. Momen-momen itu, meskipun sepele, adalah yang paling berharga dan paling kuingat.

Aku ingat cara kau meletakkan telapak tangan di dahiku saat kedinginan, saat kau merapikan buku dalam taskuku. Kau tersenyum, lalu berbisik dengan nada sinis, “jorok.” Kata-kata itu sederhana, namun menyimpan kehangatan yang tak akan pernah bisa kugantikan. Aku ingat saat angin berhembus kencang dan membuat rambut gondrongku berantakan, dan kau merapikannya dengan lembut, menyelipkan helai demi helai ke belakang telingaku. Gerakan sederhana itu selalu berhasil membuatku merasa tenang, seolah semua kekacauan di dunia bisa hilang hanya dengan sentuhanmu. Kau tersenyum lagi, berbisik, “Sudah rapi sekarang.” Aku ingat suara tawamu yang khas, yang kini hanya bergema dalam ingatan. Aku ingat aroma parfummu yang sesekali tercium dari keramaian, dari orang asing yang lewat, dan pandangan matamu yang kini terasa sangat jauh. Pandangan mata yang dulu bisa membuatku merasa paling aman di dunia, kini hanya bisa kulihat dalam potret buram di dalam kepala.

Kesadaran dan Penerimaan: Kedamaian yang Datang

Setelah melalui perjalanan panjang dengan tulisan dan kenangan, akhirnya kusadari, rindu ini bukan lagi beban. Ia adalah bagian dari ceritaku, bagian dari siapa diriku sekarang. Ia tidak lagi terasa seperti rantai yang membelenggu, melainkan seperti akar yang membuatku tetap terhubung dengan masa lalu, dengan diriku yang dulu. Tulisan-tulisan ini adalah pengingat bahwa aku pernah merasakan perasaan sehangat ini, dan aku bisa berdamai dengannya. Aku belajar untuk tidak lagi melawan, melainkan merangkul setiap kerinduan yang datang.

Rindu ini tetap ada. Tapi sekarang, dia sudah kutata. Tidak lagi mengganggu langkah, tapi menemani dengan bisu, seperti bayang-bayang yang selalu ada saat senja. Ia tidak lagi menuntut, tidak lagi berharap. Ia hanya hadir sebagai teman yang setia, mengingatkan pada hangatnya masa lalu, dan menerima dinginnya masa kini. Aku tahu, rindu ini tidak akan pernah hilang. Ia akan selalu ada, hidup di dalam hatiku. Namun, ia tidak lagi membuatku sakit. Ia membuatku menjadi lebih kuat. Ia membuatku menjadi diriku yang sekarang, yang bisa menuliskan cerita ini dengan hati yang tenang dan damai. Aku telah menemukan kedamaian, dan itu semua berkat rindu yang tak pernah bersuara ini.

Seekor webmaster yang sedang belajar dan punya hobi mengulik seluk-beluk internet, dari desain web hingga SEO. Di luar itu, saya hanyalah penikmat kopi biasa yang senang mendalami cerita di balik setiap cangkir, seperti perjalanan rasa Kopi Gayo yang menakjubkan. Melalui blog ini, saya berbagi apa yang saya pelajari, baik soal digital maupun soal kopi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like
Stereotip Logika Pria vs. Perasaan Wanita. Ini “Mitos” Paling Taek

Stereotip Logika Pria vs. Perasaan Wanita. Ini “Mitos” Paling Taek

Coding Menulis Mantra Dalam Desain Website

Coding Menulis Mantra Dalam Desain Website

Tidak Semua Orang Indonesia Itu Koruptor, Tapi…

Tidak Semua Orang Indonesia Itu Koruptor, Tapi…

Filsafat Rindu, Melintasi Waktu dan Jiwa

Filsafat Rindu, Melintasi Waktu dan Jiwa

Menulis Rindu

Menulis Rindu

DPR adalah candu rakyat Indonesia

DPR adalah candu rakyat Indonesia