Tidak Semua Orang Indonesia Itu Koruptor, Tapi…

Tidak semua orang Indonesia itu koruptor. Pernyataan ini harus diulang-ulang, karena terlalu sering masyarakat kita dikerdilkan oleh stigma yang merata. Seakan-akan setiap pejabat, setiap pegawai negeri, setiap pengusaha yang dekat dengan kekuasaan otomatis dianggap kotor. Padahal, masih ada orang-orang yang berjuang menjaga integritasnya, meski jumlahnya seakan terkubur oleh berita-berita tentang tikus-tikus berdasi. Namun pertanyaan yang lebih menyakitkan adalah, “mengapa orang-orang bersih itu justru tenggelam, sementara mereka yang rakus terus mendominasi panggung kekuasaan?

Bangsa ini sudah terlalu lama dikhianati oleh segelintir orang yang berada di posisi strategis. Dari eksekutif yang seharusnya mengurus rakyat, legislatif yang seharusnya menyuarakan aspirasi, yudikatif yang seharusnya menjadi benteng keadilan, hingga perusahaan-perusahaan milik negara yang seharusnya menyejahterakan. Nyatanya, hampir semua lini sudah tercoreng oleh praktik menjijikkan yang sama yaitu korupsi. Kata ini bukan lagi sekadar istilah hukum atau tindak pidana, melainkan sudah menjelma menjadi simbol kehancuran moral yang menular ke sendi-sendi masyarakat.

Apa yang kita lihat hari ini bukan sekadar kasus demi kasus. Ini bukan hanya soal menteri yang ditangkap KPK, anggota dewan yang dicokok saat suap, hakim yang memperjualbelikan putusan, atau direksi BUMN yang menggerogoti anggaran. Semua itu hanyalah sebagian kecil ketololan dan kerakusan yang mencerminkan betapa dalam kerusakan mentalitas bangsa ini. Lebih parah lagi, kerusakan ini bukan hanya di tingkat elite, tetapi juga merembes ke bawah seperti pungutan liar di jalan, manipulasi dana bansos, hingga nepotisme dalam rekrutmen kerja. Semua itu saling terkait, saling menguatkan, menciptakan lingkaran setan yang tidak mungkin bisa diputus.

Kalau kita bicara tentang mental dan moralitas, Indonesia sedang berada di titik nadir. Bayangkan, negeri dengan sejarah panjang perjuangan dan pengorbanan, negeri yang dibangun dengan darah dan air mata para pahlawan, kini tercoreng oleh generasi yang rela menjual integritas demi amplop, proyek, dan jabatan. Tidak ada lagi rasa malu, tidak ada lagi rasa bersalah, seolah korupsi hanyalah “resiko jabatan” atau “tradisi yang wajar”. Di ruang-ruang rapat, di meja-meja lobi hotel, bahkan di balik meja pelayanan publik, uang menjadi bahasa yang lebih berkuasa daripada sumpah jabatan dan konstitusi.

Apakah bangsa ini memang sudah serusak itu? Ataukah masih ada harapan? Pertanyaan itu terus menghantui, karena di satu sisi saya masih melihat banyak orang baik yang berjuang, dari aktivis, jurnalis, hingga masyarakat sipil yang menolak tunduk pada praktik busuk ini. Tapi di sisi lain, kekuatan mereka seringkali kalah oleh sistem yang sudah terlanjur dipenuhi oleh orang-orang yang nyaman hidup dalam dosa dan kemunafikan. Perjuangan melawan korupsi akhirnya terasa seperti nguyahi segoro atau memberi garam pada laut, atau lebih tepatnya percuma.

Potret Korupsi di Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, dan BUMN

Ketika membuka lembaran filsafat politik klasik, Plato dalam karyanya The Republic pernah mengingatkan bahwa penyakit terbesar dalam sebuah negara adalah ketika pemimpin lebih mencintai harta dan kekuasaan daripada kebenaran. Ironisnya, keadaan itu nyata saya lihat di Indonesia hari ini. Di lembaga eksekutif, yang seharusnya menjalankan amanah rakyat untuk menyejahterakan bangsa, justru tidak sedikit pejabat yang terjerat kasus suap, penggelapan anggaran, hingga manipulasi proyek. Menteri yang seharusnya jadi teladan moral, malah tertangkap tangan menerima suap. Kepala daerah yang seharusnya menjadi pengayom rakyat, justru berkompetisi memperkaya diri. Seakan jabatan hanya tiket menuju rekening gendut.

Lembaga legislatif pun tidak jauh berbeda. Jean-Jacques Rousseau dalam Du Contrat Social menekankan pentingnya volonté générale, atau kehendak umum rakyat, sebagai dasar legitimasi kekuasaan. Tetapi apa yang terjadi di parlemen kita? Banyak anggota dewan yang melupakan amanah rakyat dan lebih sibuk memperjuangkan kepentingan kelompok atau partai. Tak heran jika lembaga legislatif kita kerap masuk daftar lembaga paling tidak dipercaya publik. Ruang yang seharusnya menjadi arena demokrasi berubah menjadi pasar transaksional, tempat suara rakyat ditukar dengan amplop dan janji politik.

Lebih menyakitkan lagi, benteng terakhir keadilan yaitu lembaga yudikatif juga tidak bebas dari noda. Immanuel Kant dalam Groundwork of the Metaphysics of Morals menekankan bahwa hukum moral bersifat kategoris, artinya berlaku mutlak dan tidak boleh dinegosiasikan dengan kepentingan pribadi. Namun dalam kenyataan, sebagian hakim dan aparat penegak hukum justru memperjualbelikan keadilan. Vonis bisa ditawar, pasal bisa dinegosiasikan, bahkan hukum bisa diarahkan sesuai kepentingan politik atau ekonomi. Di sinilah krisis moral kita mencapai titik paling mengkhawatirkan: keadilan yang seharusnya suci, berubah menjadi komoditas.

Yang sangat parah adalah perusahaan-perusahaan milik negara atau BUMN. Seharusnya BUMN menjadi instrumen strategis untuk menyejahterakan rakyat, membangun infrastruktur, dan menopang ekonomi nasional. Namun yang sering terjadi justru praktik kolusi, penggelembungan proyek, dan penyalahgunaan wewenang. Machiavelli dalam The Prince memang pernah menulis bahwa seorang penguasa tidak selalu bisa bersikap baik jika ingin mempertahankan kekuasaan. Tetapi ketika prinsip ini diadopsi secara membabi buta, ia berubah menjadi legitimasi bagi perilaku oportunis tanpa batas. BUMN pun tidak lagi dilihat sebagai milik rakyat, melainkan ladang kekuasaan bagi segelintir bangsat.

Dari eksekutif hingga yudikatif, dari legislatif hingga BUMN, pola yang sama terus berulang, kekuasaan diperlakukan sebagai alat untuk memperkaya diri, bukan sebagai sarana pengabdian. Aristoteles pernah membedakan antara politik sebagai seni memerintah untuk kebaikan bersama dan politik yang menyimpang demi kepentingan pribadi. Sayangnya, Indonesia terlalu sering terjebak pada bentuk kedua. Inilah sebabnya mengapa korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan krisis filsafat moral dalam kehidupan berbangsa.

Korupsi di Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, dan BUMN

Dampak Sistemik Korupsi terhadap Moralitas Bangsa

Korupsi bukan hanya soal kerugian materi atau angka triliunan rupiah yang hilang dari kas negara. Lebih dalam dari itu, korupsi adalah virus yang menggerogoti moral bangsa secara perlahan namun pasti. Ketika pejabat publik yang seharusnya menjadi teladan justru menunjukkan kerakusan, pesan yang sampai kepada masyarakat adalah bahwa kejujuran tidak lagi berharga. Anak-anak muda tumbuh dengan gambaran bahwa untuk sukses, tidak perlu kerja keras, cukup pandai mencari celah dan koneksi. Di sinilah kerusakan moral dimulai.

Dampak sistemik dari korupsi terasa di setiap sudut kehidupan. Layanan publik menjadi tumpul karena pegawai lebih sibuk mencari “uang pelicin” daripada menjalankan kewajiban. Masyarakat kecil yang seharusnya mendapat bantuan, justru harus bersaing dengan mereka yang mampu menyuap. Sekolah dan universitas, yang seharusnya mencetak generasi jujur dan berintegritas, sering kali ikut terseret dalam praktik manipulasi anggaran, pungutan liar, bahkan jual beli ijazah. Korupsi telah merusak fondasi moral generasi penerus bangsa.

Also Read: Menulis Rindu

Lebih jauh lagi, hilangnya rasa malu menjadi tanda kehancuran moral yang paling nyata. Banyak pelaku korupsi masih bisa tersenyum di depan kamera, bahkan tampil sombong seolah tidak melakukan kesalahan. Sebagian bahkan dipuja bak pahlawan di kampung halaman mereka karena “berhasil” membawa proyek pembangunan, meski sesungguhnya uang rakyat yang mereka curi. Rasa malu yang dulunya menjadi rem moral kini lenyap, digantikan oleh budaya permisif yang menganggap korupsi sebagai sesuatu yang sangat wajar.

Korupsi juga menghancurkan rasa percaya masyarakat. Bagaimana mungkin rakyat percaya pada negara jika janji-janji keadilan selalu dikhianati? Bagaimana mungkin masyarakat percaya pada hukum jika hukum bisa diperjualbelikan? Kepercayaan adalah modal sosial terpenting untuk membangun bangsa, dan ketika modal itu hilang, yang tersisa hanyalah sinisme. Orang semakin apatis, tidak peduli, bahkan memilih untuk ikut arus karena merasa perjuangan melawan sistem yang busuk hanyalah pekerjaan sia-sia.

Pada akhirnya, dampak korupsi terhadap moralitas bangsa jauh lebih berbahaya daripada sekadar kerugian uang atau ekonomi. Budaya korupsi menciptakan generasi yang kehilangan arah, masyarakat yang kehilangan rasa percaya, dan negara yang kehilangan martabat. Inilah luka terdalam yang ditinggalkan oleh korupsi, bangsa yang seharusnya bangga dengan nilai kejujuran dan gotong royong, justru tumbuh dengan mentalitas instan, egois, dan rakus.

Akar Masalah Mental dan Moralitas yang Membusuk

Kalau mau jujur, akar dari semua kebusukan ini bukan sekadar lemahnya hukum atau kurangnya pengawasan. Akar masalahnya ada di mental dan moralitas bangsa ini yang sudah keburu busuk. Dari kecil kita dijejali pepatah “rajin pangkal pandai, jujur pangkal kaya”, tapi kenyataan di lapangan justru kebalikannya, yang rajin sering diinjak, yang jujur malah dikorbankan, sementara yang licik dan rakus naik ke kursi empuk. Sistem ini membunuh idealisme sejak dini, menanamkan pesan terselubung bahwa kejujuran itu cuma bahan tertawaan.

Korupsi bukan lahir dari ruang kosong. Ia tumbuh dari budaya permisif, dari kebiasaan “ah, cuma segini kok”, “ah, semua juga begitu”, sampai akhirnya perbuatan kecil menjelma jadi kejahatan besar. Mental bangsa ini pelan-pelan berubah menjadi mental maling. Dari pungli receh di jalanan sampai proyek triliunan di pusat kekuasaan, pola pikirnya sama, bagaimana caranya dapat uang tanpa peduli halal-haram, tanpa peduli rakyat sengsara, tanpa peduli masa depan bangsa. Hal yang paling jancok adalah yang begini dianggap pintar, dianggap “berani main”. Padahal kalau mau jujur, itu cuma bentuk kerakusan tingkat rendah, maling berdasi yang lebih hina daripada perampok jalanan.

Mbah Nun (Emha Ainun Nadjib) pernah bilang, korupsi di negeri ini bukan lagi sekadar tindakan mencuri uang negara, melainkan sudah menjadi budaya yang meracuni hati. Yang dirampok bukan hanya uang rakyat, tapi juga masa depan, harapan, bahkan martabat bangsa. Kata beliau, penyakit bangsa ini bukan kurang pintar, tapi kurang jujur. Dan di situlah akar dari hancurnya moral: ketika kejujuran dikubur, segala macam kebusukan tumbuh subur.

Krisis moral kita makin terlihat dari hilangnya rasa malu. Dulu, orang kalau ketahuan mencuri malu setengah mati. Sekarang? Politisi yang jelas-jelas ditangkap tangan masih bisa tersenyum di depan kamera, pura-pura suci, bahkan merasa dizalimi. Ada yang masih berani mencalonkan diri lagi setelah keluar penjara, seolah jabatan adalah hak turun-temurun yang tidak bisa diganggu gugat. Ini bangsa apa kalau maling masih bisa dielu-elukan kayak pahlawan? Bangsat betul sistem yang membiarkan hal itu terjadi.

Parahnya lagi, aparat yang seharusnya jadi pengawas pun sering ikut main. Bagaimana rakyat bisa percaya kalau polisi, jaksa, hakim, bahkan pejabat birokrasi ikut nimbrung dalam permainan kotor ini? Yang seharusnya jadi penegak hukum malah jadi pelindung para bajingan bangsat. Rakyat kecil yang salah sedikit dihajar habis-habisan, sementara pejabat yang maling miliaran bisa bebas jalan-jalan ke luar negeri. Matane Picek! Keadilan macam apa ini? Inilah bukti bahwa moral bangsa sudah jatuh ke titik terendah.

Selama mental bangsa ini masih busuk, jangan harap ada perubahan. Kita bisa bikin ribuan aturan, bisa teriak reformasi tiap tahun, bisa ganti pejabat setiap pemilu, tapi kalau mentalnya tetap mental maling, hasilnya akan sama saja, negara ini akan terus diperas habis-habisan. Dan ujung-ujungnya, rakyat kecil yang paling sengsara. Inilah ironi terbesar bangsa ini, negeri yang kaya sumber daya, tapi miskin moralitas. Sebuah bangsa yang sebenarnya bisa jadi besar, tapi hancur gara-gara kerakusan segelintir bajingan yang tidak tahu malu.

Apatisme Rakyat dan Normalisasi Kebusukan

Salah satu dampak paling parah dari runtuhnya moral para pejabat adalah tumbuhnya apatisme di tengah rakyat. Ketika setiap hari berita hanya dipenuhi kasus korupsi, suap, jual beli jabatan, dan drama hukum yang busuk, lama-kelamaan masyarakat berhenti peduli. Mereka menganggap semua itu wajar. “Ya begitulah negara ini, semua orang sama saja” begitu kata banyak orang. Inilah kondisi yang paling mengerikan, ketika kejahatan dianggap normal, maka korupsi bukan lagi sekadar kejahatan, melainkan budaya.

Anak-anak muda yang mestinya jadi harapan bangsa pun mulai kehilangan arah. Mereka melihat orang jujur dipinggirkan, sementara orang culas meraih jabatan dan kekayaan. Mereka belajar bahwa integritas tidak ada gunanya, bahwa yang dihargai hanyalah koneksi, uang sogokan, dan kelihaian memanipulasi keadaan. Apa yang bisa diharapkan dari generasi yang sejak kecil dipaksa menyaksikan orang baik diinjak-injak, sementara para bajingan dielu-elukan?

Apatisme ini bukan sekadar diam, tapi berubah menjadi ketidakpercayaan total terhadap negara. Rakyat sudah tidak percaya lagi pada partai, pada lembaga hukum, bahkan pada konsep demokrasi itu sendiri. Bagi mereka, pemilu hanya sandiwara lima tahunan untuk merampok suara, lalu setelah itu dilupakan. Tidak ada lagi kepercayaan, tidak ada lagi harapan. Yang tersisa hanyalah sinisme, “Siapa pun presidennya, siapa pun menterinya, ujung-ujungnya korup juga.

Inilah titik paling berbahaya dalam perjalanan bangsa. Ketika rakyat sudah apatis, maka kontrol sosial hilang. Para pejabat bisa berbuat sesukanya tanpa takut diawasi, karena rakyat sudah terlalu lelah untuk marah. Mereka sudah pasrah, sudah tidak punya energi lagi untuk melawan. Bayangkan betapa mengerikannya sebuah bangsa yang masyarakatnya tidak lagi percaya pada negaranya sendiri. Itu ibarat tubuh yang kehilangan imun, membiarkan semua penyakit masuk tanpa perlawanan. Dan penyakit terbesar kita adalah korupsi yang sudah menjadi sistemik.

Politik Praktis Korupsi dan Pengkhianatan Partai

Jika bicara soal politik praktis di negeri ini, sulit rasanya untuk menahan marah. Partai-partai politik yang seharusnya menjadi jembatan aspirasi rakyat justru berubah menjadi pasar gelap kekuasaan. Ideologi tidak lebih dari tempelan brosur murahan, visi-misi hanya sekadar hiasan saat kampanye, dan semua janji hanyalah tipu daya untuk mencuri suara rakyat. Setelah pesta demokrasi usai, rakyat dibuang, sementara para elit sibuk menghitung untung rugi, membagi kue kekuasaan, dan mengatur proyek. Ayo lah jujur saja dengan nurani kita, ikut dalam partai ujung-ujungnya hanya mengikuti kemauan ketua pemilik partai saja.

Inilah bentuk pengkhianatan paling nyata terhadap demokrasi. Partai politik berdiri bukan untuk memperjuangkan rakyat, melainkan untuk memperkaya segelintir pengurusnya. Lihat saja bukti bahwa kursi legislatif dijadikan investasi, jabatan di eksekutif jadi barang dagangan, bahkan posisi strategis seperti komisaris (saya ga tau fungsinya apa untuk rakyat) dan jajaran direksi di BUMN pun diperebutkan untuk kepentingan kelompok tertentu. Semua sudah seperti pasar, hanya saja yang diperjualbelikan bukan sekadar barang, melainkan nasib rakyat.

Lebih kotor menjijikkan lagi, para politisi ini tidak pernah merasa bersalah. Mereka bisa bicara lantang soal moral dan agama di depan publik, tapi di belakang meja sibuk meneken kontrak kotor. Mereka mengutip ayat suci di panggung kampanye, tapi di ruang rapat justru menggadaikan kepentingan bangsa demi proyek busuk. Inilah puncak kemunafikan politik, ketika kata-kata indah hanya dijadikan topeng untuk menutupi kerakusan yang tak ada habisnya.

Rakyat dikhianati berkali-kali. Dari pemilu ke pemilu, dari rezim ke rezim, pola kebusukan selalu sama. Bedanya hanya nama dan wajah, tapi mentalitasnya tetap serakah. Tidak ada partai yang benar-benar bersih, karena semuanya sudah terjebak dalam lingkaran setan politik transaksional. Moral runtuh bukan hanya di level individu, tapi juga di level institusi. Partai yang seharusnya menjadi benteng demokrasi, justru berubah menjadi komplotan mafia politik yang hanya peduli pada kepentingan sendiri.

Moralitas BUMN yang Runtuh

BUMN, Badan Usaha Milik Negara, seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi bangsa, sumber kesejahteraan rakyat, dan penjaga kedaulatan ekonomi Indonesia. Tetapi apa yang terjadi? BUMN justru berubah menjadi sapi perahan. Perusahaan-perusahaan yang mestinya berdiri gagah sebagai lokomotif kemakmuran rakyat, malah dijadikan ladang basah untuk para pejabat, kroni, dan politikus rakus. Tidak ada moral, tidak ada tanggung jawab, yang ada hanya kerakusan.

Setiap tahun kita mendengar berita tentang utang BUMN yang menggunung, proyek gagal, laporan keuangan yang dimanipulasi, hingga kebocoran anggaran yang mencapai triliunan. Tapi siapa yang bertanggung jawab? Hampir tidak ada. Yang ada justru manajemen yang gonta-ganti, komisaris ditunjuk bukan karena kompetensi tapi karena kedekatan politik. BUMN menjadi ajang balas budi politik dan tempat parkir pejabat gagal. Rakyat dipaksa menanggung kerugian, sementara segelintir orang tertawa puas menikmati hasil rampokan.

Moralitas BUMN sudah jatuh ke titik nadir. Bagaimana tidak? Mereka berani memonopoli listrik, air, pangan, migas atau segala kebutuhan vital rakyat namun yang terjadi adalah mempermainkan harga dan pelayanan. Bukannya melayani rakyat, justru memeras rakyat. Bukannya mensejahterakan, malah mencekik. BUMN bukan lagi badan usaha milik negara, melainkan badan usaha milik pejabat bangsat busuk yang hanya tahu cara mengisap darah rakyat kecil.

Lebih konyol lagi, BUMN yang seharusnya punya kekuatan dagang monopoli dan tidak punya saingan, malah dengan muka tembok berani bilang perusahaan sedang dalam keadaan rugi. INI GOBLOK. Bagaimana mungkin perusahaan yang menguasai pasar tanpa kompetitor bisa merugi, kecuali karena kebodohan manajemen, kerakusan elite, dan kebocoran yang disengaja? Ini bukan hanya tanda ketidakmampuan, tapi bukti bahwa mereka mempermainkan akal sehat rakyat.

Lebih parah lagi, banyak kasus korupsi di tubuh BUMN yang dibuka ke publik, tapi kemudian menguap begitu saja. Ada direktur utama yang mencuri triliunan, ada komisaris yang jadi mafia tender, ada direksi yang menyulap uang negara jadi pundi pribadi. Semua itu dibiarkan. Hukuman? Ringan. Tanggung jawab? Nol. Ini bukan sekadar korupsi, ini adalah pengkhianatan terhadap bangsa. Karena ketika BUMN runtuh, maka rakyatlah yang paling dulu jatuh miskin, bukan para pejabatnya.

BUMN adalah cermin paling jelas bagaimana moralitas kekuasaan di negeri ini sudah busuk sampai ke akar. Mereka diberi amanah mengelola harta rakyat, tapi yang mereka lakukan hanyalah merampok dengan cara yang lebih rapi. Dan selama rakyat diam, selama sistem hukum masih bisa dibeli, selama moral pejabat tidak dipulihkan, maka BUMN akan terus menjadi lubang hitam yang menelan masa depan bangsa.

Bangsa Indonesia Harus Berani Berkaca

Kita tidak bisa terus-menerus menutup mata terhadap kebusukan yang terjadi di negeri ini. Korupsi sudah bukan lagi kasus individu, melainkan wabah yang menjangkiti hampir semua lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, bahkan BUMN. Moralitas bangsa ini sudah berada di jurang paling dalam, dan jika tidak ada perubahan, maka kita sedang melangkah menuju kehancuran yang pasti.

Para pejabat boleh saja berkilah dengan seribu alasan, tapi rakyat sudah melihat dan merasakan semuanya. Harga yang mencekik, layanan publik yang bobrok, hukum yang tidak adil, janji politik yang selalu palsu, semua itu bukti nyata bahwa negeri ini sedang kronis sakit parah. Dan penyakitnya bukan sekadar ekonomi atau politik, melainkan penyakit moral.

Bangsa ini harus berani berkaca. Kita tidak bisa berharap pada pejabat busuk yang sudah terbiasa hidup dari uang haram. Perubahan hanya bisa lahir dari kesadaran kolektif rakyat, dari keberanian untuk berkata cukup, dari tekad untuk melawan normalisasi korupsi. Karena kalau rakyat terus diam, para serigala itu akan semakin rakus, semakin brutal, dan semakin merampok tanpa malu.

Mungkin sudah saatnya kita berhenti bermimpi tentang pejabat yang tiba-tiba jadi malaikat. Yang kita butuhkan adalah rakyat yang sadar, marah, dan berani mengambil alih nasibnya sendiri. Kalau tidak, maka kita akan terus hidup dalam lingkaran setan kebusukan moral, sampai bangsa ini benar-benar hancur. Dan ketika itu terjadi, jangan salahkan siapa-siapa, selain diri kita yang terlalu lama membiarkan mereka merampok segalanya.

Indonesia tidak akan hancur karena serangan musuh dari luar, melainkan karena busuknya moral para pemimpin dan diamnya rakyatnya sendiri.

Bagi saya, korupsi tidak sekadar soal uang, melainkan soal pengkhianatan terhadap diri sendiri. Itu sebabnya pembahasan tentang harga diri selalu relevan, sebagaimana saya tuangkan dalam blog post Harga Diri: Not For Sale.

Seekor webmaster yang sedang belajar dan punya hobi mengulik seluk-beluk internet, dari desain web hingga SEO. Di luar itu, saya hanyalah penikmat kopi biasa yang senang mendalami cerita di balik setiap cangkir, seperti perjalanan rasa Kopi Gayo yang menakjubkan. Melalui blog ini, saya berbagi apa yang saya pelajari, baik soal digital maupun soal kopi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like
Stereotip Logika Pria vs. Perasaan Wanita. Ini “Mitos” Paling Taek

Stereotip Logika Pria vs. Perasaan Wanita. Ini “Mitos” Paling Taek

Coding Menulis Mantra Dalam Desain Website

Coding Menulis Mantra Dalam Desain Website

Filsafat Rindu, Melintasi Waktu dan Jiwa

Filsafat Rindu, Melintasi Waktu dan Jiwa

Menulis Rindu

Menulis Rindu

DPR adalah candu rakyat Indonesia

DPR adalah candu rakyat Indonesia

Tak Terdengar, Tak Terbaca

Tak Terdengar, Tak Terbaca